Ternate, 7/11 (Antara Maluku) - Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) intensif mengembangkan pendidikan inklusif sebagai salah satu pemerataan pendidikan bagi siswa yang memiliki keterbelakangan mental.
Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadiknas) Kota Ternate, Muhdar Din, Senin, mengakui sekolah di kota itu sudah lama menjalankan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), meskipun Pokjanya baru dibentuk tahun ini.
"Sekolah umum yang menyelegarakannya antara lain SD Ngindi, SMP Islam, SMPN 1, SMAN 10 dan SMAN 4," katanya.
Ia mengatakan, selama ini YPAC dan SLB yang melaksanakan pendidikan inklusif, tetapi bila ada anak yang ingin sekolah umum bisa dilakukan, karena secara prikologis anak-anak itu mempunyai kepercayaan diri.
"Misalkan auties (kelemahan berpikir). Kasus ini terjadi di SD Albina, dimana seorang siswa kelas 6 ikut ujian dan belakangan diketahui oleh Diknas bahwa yang bersangkutan auties," katanya.
Karena itu, lanjutnya, yang bersangkutan mendapatkan pendampingan dari guru saat ujian, dan bila lulus ia bisa melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 karena guru-guru di sekolah itu pun sudah terlatih menghadapi anak-anak seperti itu.
Pendidikan khusus yang dimaksud adalah berkaitan dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau yang dikenal dengan layanan khusus, termasuk di dalamnya anak korban narkoba dan politik.
Dari segi politik, mungkin orang tuanya bertentangan pandangan politik dengan gubernur atau bupati terpilih sehingga anaknya dikeluarkan dari sekolah.
"Dengan adanya Pokja pendidikan inklusif, mudah-mudahan sekolah bisa mengenal dan membina siswa-siswi yang masuk kategori ABK," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016
Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadiknas) Kota Ternate, Muhdar Din, Senin, mengakui sekolah di kota itu sudah lama menjalankan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), meskipun Pokjanya baru dibentuk tahun ini.
"Sekolah umum yang menyelegarakannya antara lain SD Ngindi, SMP Islam, SMPN 1, SMAN 10 dan SMAN 4," katanya.
Ia mengatakan, selama ini YPAC dan SLB yang melaksanakan pendidikan inklusif, tetapi bila ada anak yang ingin sekolah umum bisa dilakukan, karena secara prikologis anak-anak itu mempunyai kepercayaan diri.
"Misalkan auties (kelemahan berpikir). Kasus ini terjadi di SD Albina, dimana seorang siswa kelas 6 ikut ujian dan belakangan diketahui oleh Diknas bahwa yang bersangkutan auties," katanya.
Karena itu, lanjutnya, yang bersangkutan mendapatkan pendampingan dari guru saat ujian, dan bila lulus ia bisa melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 karena guru-guru di sekolah itu pun sudah terlatih menghadapi anak-anak seperti itu.
Pendidikan khusus yang dimaksud adalah berkaitan dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau yang dikenal dengan layanan khusus, termasuk di dalamnya anak korban narkoba dan politik.
Dari segi politik, mungkin orang tuanya bertentangan pandangan politik dengan gubernur atau bupati terpilih sehingga anaknya dikeluarkan dari sekolah.
"Dengan adanya Pokja pendidikan inklusif, mudah-mudahan sekolah bisa mengenal dan membina siswa-siswi yang masuk kategori ABK," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016