Ambon, 26/2 (Antara Maluku) - Gubernur Maluku Said Assagaff mengatakan kebhinekaan merupakan bagian identitas kebudayaan Maluku yang multikultural, sebagian di antaranya adalah hasil dari akulturasi budaya dari berbagai kawasan di dunia.
"Bagi orang Maluku fakta kebhinekaan yang ada sudah merupakan bagian dari identitas kebudayaan daerah ini," katanya dalam penutupan musyawarah Tanwir Muhammadiyah di Ambon, Minggu.
Berdasarkan perspektif sejarah, lanjutnya, Maluku sebagai pulau rempah-rempah sejak dulu telah menjadi tempat perjumpaan berbagai peradaban baik nusantara maupun bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang, Arab, China dan India.
Dalam perjumpaan tersebut terjadi proses akulturasi dan menjadikannya masyarakatnya sangat multikultural, hal itu dapat terlihat dari beragamnya marga yang digunakan masyarakat setempat.
Selain ada ratusan marga lokal, terdapat juga puluhan hingga ratusan marga yang merupakan akulturasi dengan budaya luar, misalnya marga Bugis atau Makassar diketahui keturunan dari Sulawesi Selatan, Padang dan Palembang dari Pulau Sumatera.
Sedangkan untuk blesteran, ramai ditemukan marga-marga seperti Assagaf, Al-Idrus, Basalamah, Attamimi, Bahsoan, Van Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie, Payer, Da Costa, De Fretes, De Lima, Fareire, Lie, Khouw, dan lainnya.
"Kami memiliki kurang lebih 100 sub suku dan sub etnik, 117 bahasa dan dialek, selain enam agama resmi dan agama-agama suku," katanya.
Ia mengungkapkan proses akulturasi di Maluku juga sangat terlihat dari khazanah seni budaya setempat. Salah satunya adalah prosesi Abdau di desa Tulehu, kabupaten Maluku Tengah, dan tarian sawat yang menggambarkan percampuran budaya lokal dengan Timur Tengah.
Sedangkan untuk percampuran kesenian lokal dengan budaya barat terlihat pada tari katreji, oralapei, dansa ola-ola, cakaiba, dan ciri khas irama hawaian dalam musik-musik Maluku.
"Walaupun berbeda, kami semua merasa bersaudara atau orang basudara. Betapa pun berbeda, tetap Beta Maluku, yang merasa saling memiliki, sebagaimana petuah-petuah luhur orang Maluku," tandas gubernur.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017
"Bagi orang Maluku fakta kebhinekaan yang ada sudah merupakan bagian dari identitas kebudayaan daerah ini," katanya dalam penutupan musyawarah Tanwir Muhammadiyah di Ambon, Minggu.
Berdasarkan perspektif sejarah, lanjutnya, Maluku sebagai pulau rempah-rempah sejak dulu telah menjadi tempat perjumpaan berbagai peradaban baik nusantara maupun bangsa asing seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang, Arab, China dan India.
Dalam perjumpaan tersebut terjadi proses akulturasi dan menjadikannya masyarakatnya sangat multikultural, hal itu dapat terlihat dari beragamnya marga yang digunakan masyarakat setempat.
Selain ada ratusan marga lokal, terdapat juga puluhan hingga ratusan marga yang merupakan akulturasi dengan budaya luar, misalnya marga Bugis atau Makassar diketahui keturunan dari Sulawesi Selatan, Padang dan Palembang dari Pulau Sumatera.
Sedangkan untuk blesteran, ramai ditemukan marga-marga seperti Assagaf, Al-Idrus, Basalamah, Attamimi, Bahsoan, Van Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie, Payer, Da Costa, De Fretes, De Lima, Fareire, Lie, Khouw, dan lainnya.
"Kami memiliki kurang lebih 100 sub suku dan sub etnik, 117 bahasa dan dialek, selain enam agama resmi dan agama-agama suku," katanya.
Ia mengungkapkan proses akulturasi di Maluku juga sangat terlihat dari khazanah seni budaya setempat. Salah satunya adalah prosesi Abdau di desa Tulehu, kabupaten Maluku Tengah, dan tarian sawat yang menggambarkan percampuran budaya lokal dengan Timur Tengah.
Sedangkan untuk percampuran kesenian lokal dengan budaya barat terlihat pada tari katreji, oralapei, dansa ola-ola, cakaiba, dan ciri khas irama hawaian dalam musik-musik Maluku.
"Walaupun berbeda, kami semua merasa bersaudara atau orang basudara. Betapa pun berbeda, tetap Beta Maluku, yang merasa saling memiliki, sebagaimana petuah-petuah luhur orang Maluku," tandas gubernur.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017