Bupati Maluku Tenggara, Taher Hanubun mengapresiasi ajakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk menghidupkan kembali budaya lokal sebagai salah satu komponen penting untuk mewujudkan kerukunan di tanah air.
"Imbauan Menag tentang pengembangan budaya lokal yang disampaikan pada pembukaan Sidang ke-38 Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) di Ambon, Minggu (7/2), sangat luar biasa dan penting untuk dimaknai sebagai sebuah kebutuhan membangun kerukunan hidup antarumat beragama," katanya, saat dimintai tanggapannya di Ambon, Senin.
Bupati mengaku setuju dengan ajakan yang disampaikan Menag dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sekjen Kementerian Agama Nizar Ali, bahwa budaya lokal itu harus dibangkitkan kembali.
"Kita orang Maluku sudah sejak dahulu menjadikan budaya lokal, sebagai salah satu komponen penting kerukunan, persatuan dan persaudaraan," tandasnya.
Dia mencontohkan sejak dirinya dilantik sebagai Bupati pada 31 Oktober 2018, langsung menggiatkan budaya lokal sebagai pranata sosial penting dalam membangun persatuan dan persaudaraan antarmasyarakat di kabupaten Maluku Tenggara.
Dirinya mulai menggiatkan kembali budaya para leluhur atau nenek moyang zaman dahulu, terutama dalam hal pembangunan sarana peribadahan, misalnya membangun Gereja tidak hanya dikerjakan umat Kristen saja, tetapi umat Islam juga terlibat bersama, begitu pun pembangunan Masjid dilakukan oleh umat Kristen.
"Contoh di atas merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang penting membangun persaudaraan sejati antarumat beragama," katanya.
Selain itu, pada hari tertentu Bupati mengajak seluruh pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Pemkab Maluku Tenggara untuk terlibat dalam proses pekerjaan pembangunan gereja atau Masjid yang sementara dibangun warga desa.
Dia juga mengaku kehadirannya bersama para pejabat eselon, pada kegiatan pembangunan sarana ibadah, sudah tidak lagi sekedar datang untuk memberikan bantuan material, tetapi ikut terlibat bersama mempercepat penyelesaian pembangunan sarana ibadah tersebut, termasuk mengalokasikan anggaran yang dibutuhkan.
"Jadi saat ini di Maluku Tenggara, Pemkab tidak lagi memberikan bantuan Rp50 juta, tetapi berapa anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunannya, itu yang kita anggarkan dan biayai dari APBD," Dia menyadari keterbatasan anggaran masyarakat Ohoi (sebutan desa di di Maluku Tenggara) dalam mengalokasikan anggaran untuk pembangunan sarana peribadahan.
"Jadi terlepas dari bantuan pihak ketiga, saya sudah tetapkan berapa pun kebutuhan anggaran untuk pembangunan gereja dan masjid akan dianggarkan dalam APBD, di luar material lokal yang telah tersedia," katanya.
Bupati juga menargetkan dalam setiap tahun ada masjid atau gereja yang selesai dibangun dan diresmikan
Bupati menambahkan, tradisi dan budaya hidup orang Maluku Tenggara selama ini bertumpu pada tiga tunggu yakni adat, pemerintah dan agama. Adat mengakses pada masyarakat adat di daerah tersebut, sedangkan Imam, Pendeta dan Pastor memiliki umat yang merujuk pada agama, sedangkan Bupati adalah pimpinan daerah yang membawahi rakyatnya.
"Tiga penyangga (tungku) ini jika dipersatukan untuk mengurus kesejahteraan masyarakat, maka mudah sekali diselesaikan. Ini bentuk implementasi budaya lokal sebagai pilar kerukunan yang disebutkan Menag," tandasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"Imbauan Menag tentang pengembangan budaya lokal yang disampaikan pada pembukaan Sidang ke-38 Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) di Ambon, Minggu (7/2), sangat luar biasa dan penting untuk dimaknai sebagai sebuah kebutuhan membangun kerukunan hidup antarumat beragama," katanya, saat dimintai tanggapannya di Ambon, Senin.
Bupati mengaku setuju dengan ajakan yang disampaikan Menag dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sekjen Kementerian Agama Nizar Ali, bahwa budaya lokal itu harus dibangkitkan kembali.
"Kita orang Maluku sudah sejak dahulu menjadikan budaya lokal, sebagai salah satu komponen penting kerukunan, persatuan dan persaudaraan," tandasnya.
Dia mencontohkan sejak dirinya dilantik sebagai Bupati pada 31 Oktober 2018, langsung menggiatkan budaya lokal sebagai pranata sosial penting dalam membangun persatuan dan persaudaraan antarmasyarakat di kabupaten Maluku Tenggara.
Dirinya mulai menggiatkan kembali budaya para leluhur atau nenek moyang zaman dahulu, terutama dalam hal pembangunan sarana peribadahan, misalnya membangun Gereja tidak hanya dikerjakan umat Kristen saja, tetapi umat Islam juga terlibat bersama, begitu pun pembangunan Masjid dilakukan oleh umat Kristen.
"Contoh di atas merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang penting membangun persaudaraan sejati antarumat beragama," katanya.
Selain itu, pada hari tertentu Bupati mengajak seluruh pejabat Eselon II, III dan IV lingkup Pemkab Maluku Tenggara untuk terlibat dalam proses pekerjaan pembangunan gereja atau Masjid yang sementara dibangun warga desa.
Dia juga mengaku kehadirannya bersama para pejabat eselon, pada kegiatan pembangunan sarana ibadah, sudah tidak lagi sekedar datang untuk memberikan bantuan material, tetapi ikut terlibat bersama mempercepat penyelesaian pembangunan sarana ibadah tersebut, termasuk mengalokasikan anggaran yang dibutuhkan.
"Jadi saat ini di Maluku Tenggara, Pemkab tidak lagi memberikan bantuan Rp50 juta, tetapi berapa anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunannya, itu yang kita anggarkan dan biayai dari APBD," Dia menyadari keterbatasan anggaran masyarakat Ohoi (sebutan desa di di Maluku Tenggara) dalam mengalokasikan anggaran untuk pembangunan sarana peribadahan.
"Jadi terlepas dari bantuan pihak ketiga, saya sudah tetapkan berapa pun kebutuhan anggaran untuk pembangunan gereja dan masjid akan dianggarkan dalam APBD, di luar material lokal yang telah tersedia," katanya.
Bupati juga menargetkan dalam setiap tahun ada masjid atau gereja yang selesai dibangun dan diresmikan
Bupati menambahkan, tradisi dan budaya hidup orang Maluku Tenggara selama ini bertumpu pada tiga tunggu yakni adat, pemerintah dan agama. Adat mengakses pada masyarakat adat di daerah tersebut, sedangkan Imam, Pendeta dan Pastor memiliki umat yang merujuk pada agama, sedangkan Bupati adalah pimpinan daerah yang membawahi rakyatnya.
"Tiga penyangga (tungku) ini jika dipersatukan untuk mengurus kesejahteraan masyarakat, maka mudah sekali diselesaikan. Ini bentuk implementasi budaya lokal sebagai pilar kerukunan yang disebutkan Menag," tandasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021