Ambon (ANTARA) - "Setiap hari saya harus menyetor Rp15 ribu kepada sejumlah oknum berpakaian preman yang datang melakukan penagihan," kata Ny. Lina, pedagang di Pasar Apung Mardika Ambon.
Penuturan pedagang kaki lima itu disampaikan kepada Komisi III DPRD Maluku saat melakukan kunjungan lapangan ke kawasan Pasar dan Terminal Mardika terkait laporan pungli, rencana penataan kembali, serta revitalisasi pasar dan terminal tersebut.
Uang yang ditagih dari para pedagang itu dalam sehari bisa terjadi lima kali untuk berbagai alasan, mulai dari membayar sampah, karcis, uang keamanan, hingga pembayaran rekening listrik.
Ironisnya, penagihan biaya listrik dilakukan oleh oknum pegawai Disperindag Kota Ambon yang mematok harga Rp100 ribu dan ada pula orang berpakaian preman menagih dengan tarif berbeda.
Guna mendapatkan tempat berjualan di lokasi Pasar Apung I, misalnya, untuk lapak hingga kios, pedagang harus merogoh kantung yang
dalam.
Kalau ada harga kios dan lapak yang lebih dari Rp3 juta itu disebabkan pembeli pertama dari APMA menjualnya kepada pedagang lain dan seterusnya.
Situasi seperti inilah yang membebani para pedagang dengan modal terbatas, itu pun dilakukan kredit ke perbankan dan disertai dengan jaminan.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Maluku Ayu Hindun Hasanussy cum Penasihat Ikatan Pedagang Pasar Mardika (IPMA) mengakui sudah lama menerima banyak keluhan dari pedagang.
Ada 850 pedagang yang terdaftar sebagai anggota IPMA by name by address di lokasi pasar khususnya yang menempati Gedung Putih yang telah dibongkar pemerintah provinsi untuk proyek revitalisasi pasar.
"Data ini ada pada saya dalam posisi sebagai penasihat IPMA dan mereka ini memiliki KTP sebagai warga Kota Ambon," kata Ayu Hindun.
Para pedagang tersebut mengakui adanya pungutan liar atau pungli di atas pungli terhadap mereka.
Dalam sehari ada penagihan untuk lima karcis yang ditarik oleh berbagai orang berbeda kepada para pedagang termasuk di antaranya tagihan listrik dan uang kebersihan.
"Bahkan gara-gara tagihan listrik, masalah ini dibawa ke kepolisian. Tagihan listrik ditagih oknum pegawai Disperindag Kota Ambon dengan mematok Rp100 ribu dan ada juga dari perseorangan," ungkap Ayu Hindun.
Tidak tahu atas izin siapa yang membangun lapak serta kios dan pedagang awalnya harus membayar Rp9 juta, namun setelah melalui proses panjang, akhirnya diturunkan harganya menjadi Rp3 juta.
"Dalam perkembangan berikutnya, dibongkar 37 kios dan ada pembangunan kios baru lagi oleh pedagang. Jadi, sebenarnya ini pekerjaan siapa," ucapnya.
Untuk itu pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan terhadap para pedagang di sana.
Ayu berpendapat membahas persoalan Pasar dan Terminal Mardika maupun Batumerah tidak akan ada habisnya sehingga DPRD perlu membentuk sebuah Panitia Khusus (Pansus) Pasar Mardika guna melakukan investigasi yang berujung sebuah rekomendasi.
Meskipun 850 anggota IPMA mengantongi KTP sebagai warga Kota Ambon, bisa dipahami bahwa siapa saja WNI berhak datang ke mana saja untuk berdagang, tetapi harus disesuaikan dengan aturan pemerintah daerah.
"Kebanyakan pedagang saat ini yang menempati lapak-lapak di dalam kompleks Terminal Mardika merupakan pedagang musiman dan di waktu tertentu mereka akan kembali ke daerah asal sehingga harus ditertibkan," jelas Ayu Hindun.
Dia juga menyayangkan kebijakan pemerintah provinsi dalam membuat MoU atau kerja sama dengan PT Bumi Perkasa Timur selaku pengelola ruko tanpa melalui persetujuan DPRD.
DPRD juga heran dengan pembangunan sejumlah los di dalam kompleks terminal entah atas izin siapa, kemudian pedagang juga harus bayar sewa Rp20 juta untuk waktu 1 tahun.
Bagi pedagang yang sudah lama berjualan di kompleks bangunan Gedung Putih yang telah dirobohkan ini akan dihapus namanya supaya bisa digantikan dengan pedagang yang bisa membayar.
Eks pedagang Gedung Putih Pasar Mardika yang telah dipindahkan ke Pasar Arumbai juga mengeluh karena barang dagangan mereka kurang laris dan mereka terbebani dengan kredit modal usaha dari perbankan.
"Mereka menangis sebab jaminan kredit terancam disita oleh pihak bank karena cicilan kreditnya sulit dilunasi," tegas Ayu Hindun.
Maka, pemerintah daerah bersama DPRD selaku mitra harus bekerja sama, karena kalau tidak dilakukan maka yang menjadi korban adalah pedagang.
Masalah seperti itu harus diselesaikan lewat Pansus Pasar Mardika, dan siapa saja yang terlibat dalam persoalan ini, harus dijerat dengan hukum.
Bentuk pansus
Ketua Komisi III DPRD setempat Richad Rahakbauw menyatakan segera membentuk Pansus Pasar Mardika guna melakukan investigasi terkait maraknya dugaan pungli terhadap para pedagang.
Rencana pembentukan pansus dugaan pungli yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok, maupun oknum ASN itu dilakukan usai kunjungan Komisi III DPRD ke lapangan dan menerima langsung pengaduan dari para pedagang.
"Tujuannya untuk menelusuri dugaan pungli yang dilakukan berbagai pihak, termasuk oknum Disperindag Kota Ambon," tandasnya.
Bagi Komisi III DPRD, praktik pungli sama sekali tidak dibenarkan karena menyangkut dengan etika dan pidana sehingga untuk menyikapinya, perlu ditelusuri oleh pansus agar publik bisa mengetahuinya.
Komisi juga akan membahas perjanjian kerja sama (PKS) PT Bumi Perkasa Timur (BPT) dengan pemda menyangkut pengelolaan 140 ruko yang terdapat di atas lahan milik pemerintah daerah.
"Kami juga mendesak, Pemerintah Provinsi Maluku dan Pemerintah Kota Ambon bisa mencapai kata sepakat berkaitan dengan pengelolaan Pasar dan Terminal Mardika," ucap Richard.
Komisi III DPRD mendorong PKS dan MoU bisa secepatnya direalisasikan menyangkut dengan pembagian hasil yang harus dituangkan dalam PKS tersebut.
Dengan demikian, pembagian antara pemkot dan pemprov dalam pendapatan asli daerah (PAD) menjadi jelas bagi kedua pihak.
"Keluhan pedagang pada saat on the spot (kunjungan lapangan) beragam, mulai dari penyewaan lapak yang harganya selangit tanpa disertai tanda bukti, pengancaman tidak mendapat lapak, ancaman jika tidak ikut bergabung dengan salah satu asosiasi, pungli, dan beragam keluhan," akui Richard.
"Gedung Pasar Mardika yang sementara dibangun saat ini sudah mencapai lebih dari 90 persen tetapi nantinya tidak semua pedagang terakomodasi berjualan di sana," kata Ketua Komisi III DPRD Maluku Richard Rahakbauw.
Dia juga mengusulkan kepada Pemerintah Kota Ambon bisa mendirikan lagi sebuah bangunan pasar permanen agar bisa mengakomodasi ribuan pedagang.
Jumlah pedagang yang terdata saat ini by name by address sekitar 4.000-an, sementara yang bisa tertampung di pasar baru yang saat ini dibangun saat ini hanya setengah saja.
Irawadi, anggota Komisi III DPRD Provinsi Maluku juga menyatakan saat ini beredar rumor bahwa ruangan lantai dua pasar baru yang saat ini dibangun di Mardika malah sudah terjual habis.
"Kondisi fisik bangunan yang sementara dikerjakan sudah lebih dari 90-an persen dan rencananya, April 2023 sudah beroperasi, tetapi anehnya area lantai dua pasar baru tersebut sudah laris terjual," akui Irawadi.
Irawadi berharap lewat kerja pansus nantinya bisa dicari solusi terbaik untuk kepentingan para pedagang, masyarakat, maupun pemerintah daerah sehingga tidak ada lagi pungli di atas pungli dari berbagai pihak yang tidak berkompeten dalam pengelolaan dan penataan pasar serta terminal.
"Yang jelas lokasi tersebut merupakan aset pemerintah daerah yang harus dikelola secara profesional untuk kepentingan PAD. Pedagang jangan dipersulit dengan banyak pungutan," kata Irawadi.