Anggota Komisi I DPRD Maluku Mu'min Refra menilai, untuk menyelesaikan konflik yang dipicu sengketa lahan, pemerintah daerah dan instansi terkait hendaknya punya kesamaan konsep penyelesaian yang menyentuh sampai ke akar permasalahan.
"Jangan dibiarkan jadi berlarut-larut karena bisa menjadi bibit konflik dan tinggal menunggu waktu yang tepat menjadi konflik antardesa seperti ini," kata Mu'min di Ambon, Rabu.
Mu'min menanggapi konflik sosial di Maluku seperti di Pulau Haruku dan Kei Besar yang dipicu oleh sengketa lahan. Menurut dia, proses penyelesaian jangan hanya di permukaan namun harus sampai pada akarnya.
Baca juga: Warga Pelauw - Kariuw sepakat berdamai dan akhiri konflik Pulau Haruku Maluku
Mediasi yang ada selama ini yang hanya di permukaan tidak menimbulkan rasa kepuasan semua pihak yang bertikai. Sebabnya, tidak ada solusi saling menguntungkan, dimana kepuasan itu dimulai dari individu dan kepuasan kelompok hingga desa.
Maluku ini seluruhnya adalah masyarakat adat dan dikenal dengan sebutan 'Bumi Raja-Raja' dan kalau disebut konteksnya adalah raja maka di situ kekuatan utamanya adalah adat dan kultur yang muncul secara alami. Dasar seperti ini menjadi pegangan masyarakat sehingga setiap gejolak sosial yang terjadi diharapkan dapat terselesaikan hingga tuntas secara adat.
"Kemudian Indonesia merupakan negara hukum maka harus ditegakkan dan memberikan efek jera bagi siapa pun yang melakukan kegaduhan," ujarnya.
Baca juga: Kapolda Maluku harap rekonsiliasi Pelauw Kariu jadi panutan perdamaian konflik
Soal sengketa batas wilayah hampir terjadi di seluruh Maluku mulai dari Sepa-Tamilowu di Malteng hingga Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Karena itu, ia menilai hendaknya pemerintah daerah bersama seluruh elemen yang terkait langsung memiliki kesamaan konsep penyelesaian.
Proses penyelesaiannya bisa di luar pengadilan yang konsepnya menggunakan kekuatan kultur dan adat istiadat atau di pengadilan sendiri.
"Masalah lahan memang menjadi masalah dan kita minta BPN sebagai representasi negara hendaknya melakukan identifikasi yang terukur sehingga lahan-lahan kosong yang suatu saat memiliki potensi ekonomi maka di situlah mulai bermunculan pertarungan antara sesama warga yang mengklaim sebagai pemilik," ujarnya.
Baca juga: Sultan Ternate serukan warga di Maluku Tenggara segera akhiri konflik
Menurut dia, Komisi I DPRD Maluku setiap melakukan rapat dengar pendapat dengan mitra selalu menekankan masalah seperti ini dan harus diselesaikan dengan baik agar tidak lagi menimbulkan kesan buruk.
"Yang kami pahami selama ini, biasanya saat mendekati akhir tahun muncul berbagai konflik antardesa," ucapnya.
Ia mencontohkan konflik masyarakat Sepa-Tamilouw di Kabupaten Maluku Tengah, kemudian Pelauw, Ori, dan Kariu serta Hulaliu dan Aboru di Kecamatan Pulau Haruku (Malteng), ditambah lagi dengan warga Elat dan Bombai di Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Konflik lahan ini kerap bermuara pada bentrokan dan muncul provokasi yang mengatasnamakan identitas kesukuan dan agama.
"Simbol-simbol agama itu sudah sepantasnya dihentikan, karena apa pun agamanya adalah kebenaran mutlak ilahi dari Tuhan dan kebenaran itu sepantasnya mengilhami kita untuk melakukan hal-hal yang baik sesuai firman Tuhan," tegas Mu'min.
Baca juga: Kapolda Maluku tegaskan akan proses hukum provokator yang perkeruh konflik Malra
Baca juga: MUI bantah masjid terbakar akibat bentrokan di Maluku Tenggara, tepis isu hoaks
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022
"Jangan dibiarkan jadi berlarut-larut karena bisa menjadi bibit konflik dan tinggal menunggu waktu yang tepat menjadi konflik antardesa seperti ini," kata Mu'min di Ambon, Rabu.
Mu'min menanggapi konflik sosial di Maluku seperti di Pulau Haruku dan Kei Besar yang dipicu oleh sengketa lahan. Menurut dia, proses penyelesaian jangan hanya di permukaan namun harus sampai pada akarnya.
Baca juga: Warga Pelauw - Kariuw sepakat berdamai dan akhiri konflik Pulau Haruku Maluku
Mediasi yang ada selama ini yang hanya di permukaan tidak menimbulkan rasa kepuasan semua pihak yang bertikai. Sebabnya, tidak ada solusi saling menguntungkan, dimana kepuasan itu dimulai dari individu dan kepuasan kelompok hingga desa.
Maluku ini seluruhnya adalah masyarakat adat dan dikenal dengan sebutan 'Bumi Raja-Raja' dan kalau disebut konteksnya adalah raja maka di situ kekuatan utamanya adalah adat dan kultur yang muncul secara alami. Dasar seperti ini menjadi pegangan masyarakat sehingga setiap gejolak sosial yang terjadi diharapkan dapat terselesaikan hingga tuntas secara adat.
"Kemudian Indonesia merupakan negara hukum maka harus ditegakkan dan memberikan efek jera bagi siapa pun yang melakukan kegaduhan," ujarnya.
Baca juga: Kapolda Maluku harap rekonsiliasi Pelauw Kariu jadi panutan perdamaian konflik
Soal sengketa batas wilayah hampir terjadi di seluruh Maluku mulai dari Sepa-Tamilowu di Malteng hingga Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Karena itu, ia menilai hendaknya pemerintah daerah bersama seluruh elemen yang terkait langsung memiliki kesamaan konsep penyelesaian.
Proses penyelesaiannya bisa di luar pengadilan yang konsepnya menggunakan kekuatan kultur dan adat istiadat atau di pengadilan sendiri.
"Masalah lahan memang menjadi masalah dan kita minta BPN sebagai representasi negara hendaknya melakukan identifikasi yang terukur sehingga lahan-lahan kosong yang suatu saat memiliki potensi ekonomi maka di situlah mulai bermunculan pertarungan antara sesama warga yang mengklaim sebagai pemilik," ujarnya.
Baca juga: Sultan Ternate serukan warga di Maluku Tenggara segera akhiri konflik
Menurut dia, Komisi I DPRD Maluku setiap melakukan rapat dengar pendapat dengan mitra selalu menekankan masalah seperti ini dan harus diselesaikan dengan baik agar tidak lagi menimbulkan kesan buruk.
"Yang kami pahami selama ini, biasanya saat mendekati akhir tahun muncul berbagai konflik antardesa," ucapnya.
Ia mencontohkan konflik masyarakat Sepa-Tamilouw di Kabupaten Maluku Tengah, kemudian Pelauw, Ori, dan Kariu serta Hulaliu dan Aboru di Kecamatan Pulau Haruku (Malteng), ditambah lagi dengan warga Elat dan Bombai di Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Konflik lahan ini kerap bermuara pada bentrokan dan muncul provokasi yang mengatasnamakan identitas kesukuan dan agama.
"Simbol-simbol agama itu sudah sepantasnya dihentikan, karena apa pun agamanya adalah kebenaran mutlak ilahi dari Tuhan dan kebenaran itu sepantasnya mengilhami kita untuk melakukan hal-hal yang baik sesuai firman Tuhan," tegas Mu'min.
Baca juga: Kapolda Maluku tegaskan akan proses hukum provokator yang perkeruh konflik Malra
Baca juga: MUI bantah masjid terbakar akibat bentrokan di Maluku Tenggara, tepis isu hoaks
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022