Ambon (Antara Maluku) - Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy menyesalkan penyegelan sejumlah sekolah maupun permukiman di kelurahan Lateri oleh Saniri (pemangku adat) Negeri Halong pada 6 Maret 2015.
"Penyegelan fasilitas pendidikan yang telah beroperasi bertahun - tahun itu hendaknya dikoordinasikan dengan Pemkot Ambon melalui Dinas Pendidikan dan Olahraga sehingga tidak meresahkan para guru maupun siswa," katanya, dikonfirmasi, Minggu.
Saniri (pemangku adat) Negeri Halong dipimpin Rajanya (sapaan kepala desa), Stella Tuapenelay, menyegel SD Negeri 1, SD Negeri 2, SD Inpres dan SMP Negeri 9 Kelurahan Lateri.
Begitu pun permukiman yang dikembangkan CitraLand, Blitz, PT Modern Indah maupun PT Delapan Beringin.
Wali Kota mengakui, saat itu sedang melakukan sosialisasi "mangente Ambon" (kembali ke Ambon) di Medan, Sumatera Utara dan ketika mendengarnya langsung menginstruksikan Sekkot, Tonny Latuheru agar mengkoordinasikan Raja Halong soal penyegelan tersebut.
"Para guru dari empat sekolah tersebut resah dan protes terhadap aksi tersebut sehingga siswa terpaksa dipulangkan sebelum waktu karena penyegelan fasilitas pendidikan mengagetkan mereka," ujarnya.
Wali kota menyatakan akan memanggil Saniri Negeri Halong untuk membicarakan aksi penyegelan dengan sebelumnya berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon.
Apalagi, penyegelan terhadap permukiman yang dibangun empat pengemban itu nantinya berdampak terhadap iklim investasi di Kota Ambon.
"Pastinya pengemban juga tidak tinggal diam karena permukiman telah dibangun sejak beberapa tahun terakhir ini sehingga khawatir warga bermukim di kawasan tersebut menjadi tidak tenang," tegasnya.
Raja Negeri Halong, Stella Tupanelay, menyesalkan, kinerja dari BPN Kota Ambon yang mengklaim fasilitas disegel merupakan tanah milik negara.
"Kesalahan BPN Kota Ambon yang sebenarnya telah dikoordinasikan bahwa lahan tersebut merupakan petuanan (hak) Negeri Halong. Namun, tidak digubris, makanya dipasang papan penyegelan di 12 titik," katanya.
Dia mengakui, sebenarnya peringatan telah disampaikan sejak 2008 dan papan larangan dipasang dengan harapan ada penyelesaian dari para pengemban.
"Jadi sebagai pemilik petuanan harus melindungi haknya sehingga para pengemban bisa memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan lahan telah dimanfaatkan selama ini," ujar Stella.
Kuasa Hukum Negeri Halong, Marllen Petta,SH.M.Hum mengemukakan, saat ini lahan milik kliennya telah diseroboti oleh empat pengemban seluas 1.709 hektare.
"Saniri berkewajiban melindungi hak tanah adat Negeri Halong sehingga langkah yang dilakukan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan," katanya.
Ia mempersilahkan empat pengemban untuk menyelesaikan kewajibannya dengan segera karena bila tidak, maka upaya hukum dengan menggugat perdata atau pidana.
"Saya harapkan tidak ada yang mencabut papan tanda larangan tersebut bertuliskan `Dilarang Membangun Dan/Atau Melakukan Kegiatan Apa Pun Di Atas Tanah Petuanan Negeri Halong Tanpa Izin Dari Pemerintah Negeri Halong`, karena akibatnya diproses hukum," kata Marllen Petta.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015
"Penyegelan fasilitas pendidikan yang telah beroperasi bertahun - tahun itu hendaknya dikoordinasikan dengan Pemkot Ambon melalui Dinas Pendidikan dan Olahraga sehingga tidak meresahkan para guru maupun siswa," katanya, dikonfirmasi, Minggu.
Saniri (pemangku adat) Negeri Halong dipimpin Rajanya (sapaan kepala desa), Stella Tuapenelay, menyegel SD Negeri 1, SD Negeri 2, SD Inpres dan SMP Negeri 9 Kelurahan Lateri.
Begitu pun permukiman yang dikembangkan CitraLand, Blitz, PT Modern Indah maupun PT Delapan Beringin.
Wali Kota mengakui, saat itu sedang melakukan sosialisasi "mangente Ambon" (kembali ke Ambon) di Medan, Sumatera Utara dan ketika mendengarnya langsung menginstruksikan Sekkot, Tonny Latuheru agar mengkoordinasikan Raja Halong soal penyegelan tersebut.
"Para guru dari empat sekolah tersebut resah dan protes terhadap aksi tersebut sehingga siswa terpaksa dipulangkan sebelum waktu karena penyegelan fasilitas pendidikan mengagetkan mereka," ujarnya.
Wali kota menyatakan akan memanggil Saniri Negeri Halong untuk membicarakan aksi penyegelan dengan sebelumnya berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ambon.
Apalagi, penyegelan terhadap permukiman yang dibangun empat pengemban itu nantinya berdampak terhadap iklim investasi di Kota Ambon.
"Pastinya pengemban juga tidak tinggal diam karena permukiman telah dibangun sejak beberapa tahun terakhir ini sehingga khawatir warga bermukim di kawasan tersebut menjadi tidak tenang," tegasnya.
Raja Negeri Halong, Stella Tupanelay, menyesalkan, kinerja dari BPN Kota Ambon yang mengklaim fasilitas disegel merupakan tanah milik negara.
"Kesalahan BPN Kota Ambon yang sebenarnya telah dikoordinasikan bahwa lahan tersebut merupakan petuanan (hak) Negeri Halong. Namun, tidak digubris, makanya dipasang papan penyegelan di 12 titik," katanya.
Dia mengakui, sebenarnya peringatan telah disampaikan sejak 2008 dan papan larangan dipasang dengan harapan ada penyelesaian dari para pengemban.
"Jadi sebagai pemilik petuanan harus melindungi haknya sehingga para pengemban bisa memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan lahan telah dimanfaatkan selama ini," ujar Stella.
Kuasa Hukum Negeri Halong, Marllen Petta,SH.M.Hum mengemukakan, saat ini lahan milik kliennya telah diseroboti oleh empat pengemban seluas 1.709 hektare.
"Saniri berkewajiban melindungi hak tanah adat Negeri Halong sehingga langkah yang dilakukan merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan aturan," katanya.
Ia mempersilahkan empat pengemban untuk menyelesaikan kewajibannya dengan segera karena bila tidak, maka upaya hukum dengan menggugat perdata atau pidana.
"Saya harapkan tidak ada yang mencabut papan tanda larangan tersebut bertuliskan `Dilarang Membangun Dan/Atau Melakukan Kegiatan Apa Pun Di Atas Tanah Petuanan Negeri Halong Tanpa Izin Dari Pemerintah Negeri Halong`, karena akibatnya diproses hukum," kata Marllen Petta.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015