Kota Ternate, Maluku Utara (Malut) sejak 2015 telah memiliki peraturan daerah (perda) mengenai larangan peredaran semua jenis minuman keras (miras), baik yang dihasilkan industri maupun dari olahan tradisional.

Namun, kenyataan selama ini, peredaran minuman keras di Ternate tetap marak, terutama minuman keras tradisional dari olahan air nira (enau), yang masyarakat setempat mengenalnya dengan nama captikus.

Salah seorang warga Ternate, yang sering membeli minuman keras captikus itu, Ariyanto (33), menggambarkan peredaran minuman keras di daerah berjuluk kota budaya dan agamais ini seperti air meneral dalam kemasan, yang bisa didapatkan di hampir semua lokasi permukiman warga.

Di Ternate dalam beberapa bulan terakhir ini mulai muncul pula miras olahan tradisional dengan nama miras cap akar, yang merupakan oplosan minuman keras captikus dengan bahan-bahan tertentu, yang hingga kini belum diketahui.

Minuman keras cap akar itu banyak diminati warga, terutama pria yang telah berkeluarga, karena selain memiliki efek yang sama dengan minuman keras pada umumnya, yakni memabukan, juga diyakini dapat meningkatkan vitalitas pria.

Kasus adanya warga yang meninggal di Ternate akibat mengonsumsi minuman keras tradisional itu, menurut Kabid Humas Polda Malut AKBP Hendri Badar, sejauh ini belum ada, tetapi dampaknya terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sudah sering terjadi.

Kasus tawuran antarwarga di Ternate selama ini, seperti antara warga Toboko dan Mangga Dua yang mengakibatkan sejumlah warga tewas dan luka-luka, disebabkan sejumlah warga mabuk setelah mengonsumsi minuman keras, yang kemudian saling menyerang.

Kasus penganiayaan, kekerasaan terhadap perempuan dan anak serta kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Ternate selama ini, juga umumnya dilatarbelakangi pengaruh minuman keras, seperti pada kasus kecelakaan lalu lintas awal April ini yang mengakibatkan seorang tewas, diduga karena pengaruh minuman keras.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Ternate Fandi mengaku pihaknya bersama unsur Polri dan TNI selama ini telah berupaya menegakan perda mengenai larangan peredaran minuman keras, di antaranya dengan melakukan razia.

Selain itu, juga terus melakukan pengawasan terhadap semua pelabuhan di Ternate yang dapat menjadi pintu masuk penyeludupan minuman keras di daerah itu, khususnya dari Sulawesi Utara, serta sejumlah kabupaten di Malut, seperti Halmahera Barat, Halmahera Utara dan Halmahea Selatan.

Tetapi semua upaya itu belum sepenuhnya membuahkan hasil, terbukti masih saja ada minuman keras yang beredar di Ternate, karena para pengedar minuman haram itu memiliki seribu cara untuk memasukannya.



Keuntungan Besar

Para pengedar minuman keras tradisional di Ternate sebenarnya menyadari bahwa usaha mereka itu tidak saja melanggar perda, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan agama dan norma adat setempat, namun mereka tetap melakukannya karena tergiur keuntungan besar.

Minuman keras captikus dibeli di luar Ternate, seperti di Sulawesi Utara dengan harga Rp25.000 per liter, sedangkan di Ternate mereka menjualnya seharga Rp75.000 per liter, sementara untuk menyeludupkannya ke Ternate biasanya menggunakan transportasi laut dengan cara disembunyikan dalam barang lain, seperti sayuran atau boks ikan.

Ketua Majelim Ulama Indonesia (MUI) Kota Ternate Usman Muhammad menyarankan perda mengenai larangan peredaran minuman keras di Ternate, harus direvisi, terutama mengenai pasal yang mengatur sanksinya, karena sanksi dalam perda saat ini sangat ringan.

Para pengedar minuman keras di Ternate selama ini yang terjaring petugas Sat Pol PP atau dari Polri dan TNI hanya mendapat sanksi ringan berupa pembinaan dengan cara barangnya (minuman keras) disita dan pemiliknya diberi peringatan, jarang sekali yang sampai diproses secara hukum.

Oleh karena itu, sanksi terhadap pengedar minuman keras harus diperberat, bahkan kalau bisa disamakan dengan sanksi terhadap pengedar narkoba, agar mereka yang selama ini mengedarkan minuman keras akan berpikir panjang untuk kembali melakukan usaha itu.

Sanksi tegas seperti itu, menurut Usman Muhammad, juga harus dikenakan kepada yang mengonsumsi, terutama yang sampai mabuk dan melakukan tindakan yang dapat mengganggu ketentraman dan keamanan warga lainnya.

Selain penerapan sanksi tegas terhadap pengedar dan yang mengonsumsi, yang perlu pula diupayakan Pemkot Ternate dan semua pihak terkait lainnya, seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda adalah sosialisasi kepada warga mengenai bahaya minuman keras, baik dari aspek agama, kesehatan maupun keamanan.

Para orang tua harus pula berperan besar untuk mencegah anggota keluarganya terlibat sebagai pengedar dan mengonsumsi minuman keras dengan cara membekali anggota keluarga dengan pemahaman agama, karena orang yang memiliki pemahaman agama pasti akan menjauhi minuman itu.

Wakil Ketua DPRD Kota Ternate Iqbal Ruray sepakat kalau perda mengenai larangan peredaran minuman keras direvisi secara menyeluruh, termasuk mengenai sanksinya dan bahkan hal itu sudah menjadi agenda bersama antara DPRD Ternate dan Pemkot Ternate setelah melihat dampak yang ditimbulkan dari maraknya peredaran minuman keras di Ternate selama ini.

Namun yang lebih penting sebenarnya adalah konsintensi dalam menerapkan perda, karena seberat apapun sanksi yang akan dicantumkan dalam perda, tetapi kalau tidak ada konsitensi untuk menerapkannya maka tidak akan memberi kontribusi besar dalam upaya menghilangkan peredaran minuman keras di daerah itu.

Selain itu, yang juga tidak kalaj pentingnya adalah komitmen moral dari setiap anggota penegak hukum, khususnya Sat Pol PP, Polri dan TNI, dalam memberantas peredaran minuman keras di Ternate, karena maraknya peredaran minuman keras selama ini disinyalir adanya keterlibatan oknum dari insitusi penegak hukum itu.

Pewarta: *

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018