Ambon (ANTARA) - Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Ambon harus mempertimbangkan dampak psikososial bagi masyarakat setempat, kata pengamat sosial dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Paulus Koritelu.
"Saya kira yang mesti dilakukan jangan hanya soal fisik, tetapi sosiopsikologis masyarakat juga harus diperhatikan, bagaimana agar mereka bisa secara sadar menerima kebijakan itu," katanya di Ambon, Kamis.
Paulus Koritelu yang juga dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpatti Ambon itu, mengatakan penerapan PSBB akan menimbulkan dampak psikososial yang besar bagi masyarakat dan akan sulit dikendalikan.
Secara kultur, kata dia, orang Ambon maupun Maluku secara luas memiliki tradisi sosiopsikologis yang kuat, di mana interaksi antarindividu sebagai hal penting dan mempengaruhi hubungan sosial, kehidupan, dan mental masyarakat.
Ia mengemukakan tradisi sosiopsikologis itu dipengaruhi struktur kekerabatan, adat-istiadat, dan kebiasaan lembaga masyarakat yang sudah mengakar secara turun-temurun.
"Tradisi-tradisi kunjung mengunjungi bagi orang Ambon sangat tidak bisa dihilangkan. Di tengah situasi pandemi seperti ini saja, ketika ada yang datang ke rumah dan kita tidak mau bersalaman, mereka sudah menganggap kita menuduh mereka terkena corona," ucapnya.
Menurut Paulus, dampak COVID-19 secara psikososial di Ambon sudah terlihat dalam dua bulan terakhir, terutama setelah adanya imbauan pemerintah daerah agar masyarakat tetap berada di rumah, dan adanya tekanan di media massa dan informasi-informasi hoaks.
Ketidaksiapan mental masyarakat untuk menerima pembatasan sosial tersebut, katanya, memicu beberapa fenomena dan peristiwa yang tidak terduga.
Ia mencontohkan kasus bunuh diri hingga isu perdukunan yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu hingga kemudian warga di beberapa wilayah di Ambon memberlakukan jam malam bukan hanya untuk antisipasi COVID-19, melainkan sebab isu tersebut.
"Dalam ranah sosiologi itu sebenarnya bagian dari sebuah tekanan yang berlebihan dan ketidaksiapan psikologi masyarakat untuk menerimanya, apalagi kelompok anak-anak muda yang membutuhkan 'freedom expression' (kebebasan berekspresi), tekanan-tekanan lewat media, berita hoaks dan segala macam yang membuat situasi semakin tidak bisa dikendalikan," ujarnya.
Dia mengatakan jika Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon menerapkan PSBB, maka standar operasional prosedur harus mampu menyentuh semua aspek, termasuk kultur masyarakat yang tidak bisa diubah hanya dalam satu atau dua kali sosialisasi.
Selain itu, katanya, pemkot juga harus memastikan sistem jaminan sosial bagi masyarakat menengah ke bawah diterapkan dengan baik, tidak hanya secara struktural berhasil tetapi secara fungsional sampai pada tataran yang paling bawah harus bisa terjamin.
"Karena fungsi pemerintah adalah maksimalisasi pelayanan masyarakat, bukan soal otoritas untuk memerintah atau legitimasi menjalankan kekuasaan tapi kenyamanan orang yang diperintah," tandas Paulus.
Pengamat: Penerapan PSBB di Ambon pertimbangkan dampak psikososial
Kamis, 30 April 2020 18:54 WIB