Pengamat Pertanian, Wardi Girsang, PhD mengatakan, kawasan-kawasan sagu di Maluku harus diolah dengan orientasi bisnis untuk memanfaatkan sumber daya makanan lokal bagi ketahanan pangan."Dibutuhkan kebijakan untuk penataan kembali hutan-hutan sagu. Peraturan Daerah (Perda) harus ada agar kawasan sagu itu benar-benar aman, lestari dan berkelanjutan," kata Wardi Girsang di Ambon, Selasa.Menurut dia, penataan kawasan sagu itu bukan hanya menguntungkan dari sisi ekonomis, melainkan juga ekologis dan historis budaya.Sagu yang merupakan salah satu jenis pangan lokal di Maluku, katanya, saat ini mulai ditinggalkan masyarakat di Maluku karena adanya anggapan bahwa jenis makanan sumber karbohidrat itu merupakan pangan "inferior" (bermutu rendah, red).Untuk mengubah anggapan yang salah itu dibutuhkan sistem pengolahan sagu yang lebih modern, bukan sekadar sagu tumang yang diolah menjadi tepung sagu atau mie berbahan dasar sagu melainkan perlu kemasan yang menarik.Kemasan itu juga perlu ditunjang disain, label, kualitas, dan stok yang cukup agar dapat bersaing dengan barang sejenis yang ada di pasaran."Harus terus diupayakan agar masyarakat memandang sagu sebagai produk industri, bukan lagi barang inferior. Caranya, sagu diolah menjadi mie misalnya yang dikemas dengan label yang menarik, seperti sehat, berkualitas, tanpa bahan kimia dan lainnya," katanya."Penganekaragaman"Pengolahan tepung sagu menjadi mi merupakan salah satu langkah Pemerintah Maluku dalam rangka penganekaragaman sumber daya makanan lokal untuk ketahanan pangan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden No.22 tahun 2009.Berdasarkan paparan Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Maluku, Syuryadi Sabirin pada pelatihan teknologi produksi mie berbahan baku sagu di Ambon, Senin, bahwa Badan Pangan dan Pertanian Dunia, FAO memprediksi akan terjadi krisis pangan dunia, terparah melanda asia.Sedangkan Indonesia diprediksi akan dilanda kelaparan pada 2015."Harga pangan pokok akan meningkat tajam. Beras Rp 2.750 per kg menjadi Rp3.250 per kg. Di sisi lain produksi beras nasional hanya tumbuh 1,05 persen per tahun, sementara laju peningkatan produksi 4,66 persen per tahun," demikian paparan Syuryadi Sabirin.Dia menjelaskan, Provinsi Maluku membutuhkan beras sebanyak 180 ribu ton per tahun. Sedangkan produksi beras di Maluku saat ini baru mencapai 79 ribu ton per tahun. Kekurangannya didatangkan dari luar sebesar 40 ribu ton per tahun yang setara dengan Rp200 miliar."Untuk antisipasi kebutuhan pangan di daerah ini diberdayakan potensi pangan lokal, yakni sagu, umbi-umbian dan hotong sebagai konsumsi makanan pokok," kata Syuryadi Sabirin.Dia menjelaskan, pengolahan tepung sagu, umbi-umbian dan hotong merupakan skala prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan di Maluku.
Hutan Sagu Harus Diolah Dengan Orientasi Bisnis
Kamis, 1 Juli 2010 10:58 WIB
