Ambon, 11/12 (ANTARA News) - Yayasan Arika Mahina Maluku menyosialisasikan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan kepada kalangan mahasiswa di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Senin.
Kegiatan itu bagian dari kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
Digelar di ruang auditorium IAKN Ambon, sedikitnya ada 200 mahasiswa ikut serta dalam kegiatan yang menghadirkan staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Maluku Ade Ohello, dan pengacara dan praktisi hukum Dino Hulisen sebagai narasumber.
Beragam bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dipaparakan kepada para mahasiswa, mulai dari kekerasan fisik, psikis hingga kekerasan seksual yang bersifat pelecehan maupun perkosaan dengan dalil suka sama suka.
Ade Ohello dalam kesempatan itu mengatakan kekerasan memiliki bentuk yang bermacam-macam dan bisa terjadi di mana saja, termasuk di dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga. Tidak hanya suami terhadap istri, tapi juga orang tua kepada anak.
Sayangnya banyak korban seringkali tidak menyadari kalau dirinya adalah korban kekerasan, karena sebagian besar kekerasan hanya dilihat dari yang bersifat fisik, seperti pukulan dan perkosaan.
Ia mencontohkan kekerasan verbal berupa ucapan-ucapan bernada negatif yang dikeluarkan untuk merendahkan dan melecehkan martabat seseorang, menyamakan atau menyebut seseorang dengan nama hewan, dan sebagainya.
Sedangkan kekerasan seksual tidak hanya berkisar pada perkosaan atau percobaan perkosaan, tapi juga melecehkan dengan menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan, mengeluarkan kalimat-kalimat seksual yang tidak pantas, termasuk ucapan yang merendahkan bagian-bagian tubuh tertentu.
"Kekerasan itu bukan hanya dipukul atau yang meninggalkan bekas fisik, tapi melecehkan, mengucapkan kalimat-kalimat tidak pantas, memanggil seseorang dengan anjing dan semacamnya itu juga adalah kekerasan, termasuk juga pelecehan secara seksual oleh pacar," katanya.
Menurut Ade, untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya kaum perempuan, kaum laki-laki pun harus mengenal bentuk-bentuk kekerasan karena dengan begitu mereka bisa membatasi diri dari tindakan kekerasan.
Selain itu, mereka juga bisa turut ambil bagian dalam mengatasi kekerasan di lingkungannya, salah satunya dengan tidak tinggal diam saat melihat dan mengetahui adanya tindak kekerasan, tetapi melaporkannya kepada lembaga-lembaga pelayanan perempuan dan anak.
"Tidak harus dilaporkan langsung ke polisi, tapi adik-adik bisa ikut berkontribusi dengan menjadi saksi, melaporkan tindak kekerasan yang diketahui dan dilihat kepada lembaga-lembaga yang mengurus hal-hal semacam itu, salah satunya ke P2TP2A," ucapnya.
Senada dengan Ade, pengacara Dino Hulisen mengatakan perempuan dan anak korban kekerasan tidak perlu takut untuk melaporkan apa yang dialaminya, karena mereka mendapatkan perlindungan penuh secara hukum.
Landasan-landasan hukum yang mengatur masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dipertegas kembali melalui Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal-pasal yang tertera dalam undang-undang tersebut bisa digunakan untuk mendakwa pelaku kekerasan, sesuai dengan bentuk dan tingkat kekerasan yang telah dilakukan.
"Kasus kekerasan bersifat delik aduan, bisa dicabut kembali oleh korban. Tapi yang perlu kita pahami di sini adalah anak dan perempuan korban kekerasan dilindungi penuh oleh negara, ada beberapa UU yang bisa digunakan untuk mendakwa pelaku kekerasan," tandas Dino.
Gerakan melawan kekerasan terhadap perempuan guna mendukung kampanye internasional 16 HAKTP, bukanlah kali pertama dilakukan oleh Yayasan Arika Mahina. Sebelumnya lembaga yang berafiliasi dengan Yayasan BaKTI melalui program MAMPU tersebut menggelar kegiatan yang sama di beberapa tempat lainnya.
Selain IAKN Ambon, selama 16 hari kampanye, Yayasan Arika Mahina juga mengunjungi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon (4 Desember 2018), kemudian SMP Negeri 10 Ambon (5 Desember), komunitas pengungsi di Dusun Tanah Putih, Kecamatan Teluk Ambon (6 Desember) dan SMP Negeri 2 Ambon (7 Desember).
Kegiatan itu sendiri dilaksanakan untuk mendorong isu pengurangan kekerasan terhadap perempuan menjadi isu publik, mempengaruhi perubahan sikap individu dan masyarakat agar tidak mentolerir tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk mengadvokasi hubungan antar-gender yang bebas dari kekerasan dan berdasarkan kesetaraan.
Arika Mahina sosialisasi anti kekerasan kepada mahasiswa
Selasa, 11 Desember 2018 9:27 WIB