Ambon (ANTARA) - Kadis Kelautan dan Perikanan Maluku, Romelus Farfar mengakui Menteri Kelautan dan Perikanan(KKP) RI Susi Pudjiastuti tidak menepati janinya untuk mengucurkan dana Rp4 triliun dalam rangka membantu Maluku menjadi Lumbung Ikan Nasional .
"Ketika beliau dilantik menjadi Menteri KKP, kami bersama pimpinan DPRD Maluku dan komisi B DPRD menemuinya dan disambut positif, kemudian dalam percakapan ini menghasilkan komitmen yang kuat untuk membantu sektor perikanan di Maluku," kata Romelus di Ambon, Selasa.
Penjelasan tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan Penjabat Sekda Maluku, Kasrul Selang, DKP, Dinas ESDM, serta Dinas Kehutanan provinsi setempat dengan pimpinan dan anggota komisi B DPRD Maluku.
Rapat kerja komisi ini untuk mendukung langkah tegas Gubernur Maluku Murad Ismali yang mengeluarkan moratorium sumber daya alam (SDA) daerah ini baik berupa hasil hutan, hasil laut, serta hasil tambang mineral.
Seiring waktu, kata Romelus, Menteri Susi pernah hadir dalam rapat paripurna DPRD Maluku dan menegaskan akan menempatkan Rp1 triliun membantu Maluku menjadi LIN..
Lewat kesempatan lain, ketika hadir dalam ceramah umum di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, menteri Susi menyampaikan kepada Gubernur bahwa dia berkeinginan menaikan anggarannya menjadi Rp4 triliun.
"Saya ini sebenarnya menjadi bulan-bulanan karena Gubernur memerintahkan segera mendesain konsep pembangunan etos kelautan dan perikanan yang bisa menyerap dana sebesar itu," kata Romelus.
Sampai-sampai dirinya melihat sendiri omongan Panglima Kodam XVI/Pattimura saat itu Mayjen TNI Doni Mordano yang mengatakan jangan lupa Kodam juga mempunyai program emas biru dan bisa dimasukan dalam program.
Sama halnya dengan Komandan Lantamal IX yang mengingatkan soal pengawasan sumber daya laut sehingga harus dimasukan dalam program dimaksud.
Desain program reformulasi Maluku sebagai LIN dan mengundang para pakar dari IPB, Unpatti, KKP dan stakeholder lainnya, tetapi sampai dengan saat berapat di ruang komisi ini, tidak ada satu peser pun uang yang dikucurkan dari KKP ke Provinsi Maluku.
Sehingga apa yang disampaikan Gubernur Maluku, Murad Ismail dalam pidatonya kemarin bahwa sangat kecewa dengan kondisi itu.
Ada beberapa solusi yang didesain menyangkut kebijakan baru bahwa satu-satunya provinsi yang oleh KKP menempatkan UPT terbanyak adalah di Maluku.
Terdiri dari delapan UPT antara lain PPN Ambon, PPN Tual, Balai Pendidikan Pelatihan Perikanan di Desa Poka, SUPM yang baru diubah namanya menjadi Politeknik Perikanan, UPT Karantina, UPT Balai Budidaya Laut, UPT Pengawasan berupa pangakalan pengawasan ikan di Tual dan stasiun pengawasan ikan di Ambon, serta UPT pesisir.
"Yang muncul sekarang ini permintaan KKP mau membentuk lagi UPT penguatan daya saing yang berhubungan dengan rantai dingin (colstorage)," tandasnya.
Resiko dari mendirikan UPT di Maluku adalah penempatan APBN jatuh ke seluruh UPT dimaksud, yang dahulunya pada 2007 pernah kelola Rp127 miliar tetapi sekarang mengalir ke UPT.
UPT ini oleh Menteri Susi bahwa ini adalah dana dekonsentrasi, padahal kalau belajar keuangan maka yang namanya dekonsentrasi itu masuk dalam kas daerah baru dikeluarkan dalam bentuk pembelanjaan.
"Maaf bukan saya memberikan solusi berlebihan tetapi faktanya seluruh UPT ini berdiri di atas lahan yang dibebaskan oleh pemerintah daerah dan sertifikatnya ada pada kita, kecuali UPT Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan," ujarnya.
UPT ini peranannya sudah hampir sama dengan dahulu yang namanya Kantor Wilayah (Kanwil) dan kalau UPT ditiadakan maka APBN yang dititip di sana masuk APBD dan jatuh ke dinas tekhnis.
Memang kalau bertolak dari sumber daya perikanan yang tersedia di perairan NKRI yang sudah dibagi habis menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan(WPP) , ternyata Maluku menempati pada WPP 715 untuk kawasan laut Seram dan sekitarnya, WPP 714 di laut Banda dan sekitarnya, 718 laut Arafura.
Ketiga WPP ini bila dibandingkan sumberdaya ikannya terkandung lebih dari 30 persen sumberdaya ikan nasionalnya ada di laut Maluku, jadi cukup besar kemudian hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan KKP yang memberi izin kepada kapal-kapal yang beroperasi di WPP tadi.
Contoh di laut Arafura saja sekarang ini beroperasi 1.600 kapal ikan yang mengantongi izin pusat, sementara yang diizinkan Gubernur Maluku melalui PTSP yaitu hanya 288 kapal.
Kalau dibandingkan dengan 1.600 kapal baik hasil tangkapan maupun ukuran kapal sangat jauh sekali perbedaannya.
Bila 1.600 kapal itu tidak memberikan dampak sama sekali kontribusi pendapatan asli daerah disebabkan beberapa kendala antara lain, dari 13 pelabuhan perikanan yang ada di Maluku, di mana tiga pelabuhan menjadi kewenangan KKP yakni PPN Ambon, PPN Tual, dan Pangkalan Pendaratan Ikan Kalar-Kalar, Kabupaten Kepulauan Aru.
Jadi tinggal sepuluh pelabuhan perikanan yang kita sudah mencoba untuk melahirkan regulasi dalam bentuk Pergub tambat/labuh.
"Hitung saja 1.600 kapal kalau dia menambatkan tali di Pelabuhan Perikanan Belakang Wamar, Kabupaten Kepulauan Aru, namun ketika Pergub diajukan ke Biro Hukum Setda Maluku dan dibahas bersama Kanwil Kemenkum HAM Maluku ternyata pergub retribusi ini sudah harus diganti dalam bentuk peraturan daerah," katanya.
Sementara prolegda sudah berakhir dan harus menunggu pelantikan anggota DPRD provinsi yang baru serta pembentukan alat-alat kelengkapan dewan baru bisa diajukan raperdanya.
"Kita juga menyadari sungguh SDA yang melimpah ini sebenarnya ditopang oleh tiga ekosistem yang besar diantaranya ekosistem bakau, dan coral atau karang ditambah gejala alam ketika terjadi musim timur dari tenggara menuju laut Banda yang membuat wilayah laut menjadi subur dan menjadi sarang ikan," jelas Romelus.
"Maaf bukan saya memberikan solusi berlebihan tetapi faktanya seluruh UPT ini berdiri di atas lahan yang dibebaskan oleh pemerintah daerah dan sertifikatnya ada pada kita, kecuali UPT Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan," tandasnya lagi.
UPT ini peranannya sudah hampir sama dengan dahulu yang namanya Kantor Wilayah (Kanwil) dan kalau UPT ditiadakan maka APBN yang dititip di sana masuk APBD dan jatuh ke dinas tekhnis.