Ambon (ANTARA) - Pansus Pengelolaan Pasar Mardika DPRD Maluku menyebutkan keterlibatan pihak ketiga dalam pengelolaan Rumah dan Toko (Ruko) Mardika smerugikan pedagang penyewa ruko karena mematok harga yang lebih tinggi.
"Dibandingkan dengan lima enam tahun silam, pembayaran sewa ruko oleh pemerintah provinsi hanya di kisaran Rp26,5 juta tetapi PT Bumi Perkasa Timur selaku pengelola menagih biaya sewa antara Rp100 juta hingga Rp120 juta," kata anggota Pansus Pasar Mardika DPRD Maluku Jantje Wenno di Ambon, Minggu.
Harga sewa ruko Rp26,5 juta per tahun ini merupakan standar patokan yang ditetapkan pemerintah provinsi, namun pihak pengelola justeru melakukan penagihan yang tinggi sehingga merugikan para pedagang atau penyewa ruko.
Menurut dia, keterlibatan PT BPT dalam mengelola 260 ruko Mardika didasarkan perjanjian kerja sama dengan pemerintah provinsi sesuai akta notaris nomor 21 31 Juli 2022 yang dibuat oleh Notaris Roy Prabowo Lenggono
"Pansus sudah berulang kali melakukan rapat dengar pendapat baik dengan pemerintah provinsi bersama para pemilik ruko, sementara manajemen PT BPT yang turut diundang tidak hadir memenuhi undangan," tandasnya.
Dari hasil rapat, ternyata pansus mendapat penjelasan dari para penyewa ruko yang menyebutkan besaran biaya sewa yang ditagih, sementara BPT hanya menyampaikan laporan tertulis kalau yang membayar sewa ruku hanya 10 penyewa.
Ternyata dalam rapat pansus diketahui sudah lebih dari 10 penyewa yang melakukan pembayaran diantaranya Bank Mandiri yang membayar sewa Rp14 miliar kepada PT BPT untuk jangka waktu 10 tahun.
Kemudian Bank Central Asia membayar sewa Rp3 miliar kepada BPT untuk jangka waktu 15 tahun, sementara ada penyewa yang lain sudah melakukan pembayaran antara Rp100 juta hingga Rp480 juta.
"Sehingga Pansus berkesimpulan bahwa mereka yang sudah melakukan penyetoran biaya sewa ruko ke perusahaan itu sekitar Rp18 miliar, dan Pansus bertanya kepada pemprov melalui BPKAD dan dijawab telah menerima penyetoran Rp5 miliar, sementara ada Rp13 miliar didapatkan oleh BPT," jelas Jantje.
Pansus berkesimpulan sesungguhnya perjanjian kerja sama antara Pemprov Maluku-BPT adalah perjanjian yang sengaja dibuat untuk menguntungkan para pihak yang menandatangani kerjasama ini.
Karena pendapat ahli hukum perdata Fakultas Hukum Unpatti menyebutkan perjanjian kerja sama ini tidak memenuhi syarat material dan formil, karena hanya menguntungkan satu pihak.
"Bagaimana mungkin dengan memanfaatkan perjanjian kerja sama yang menurut saya patut diduga mengandung kolusi serta unsur korupsi untuk memperkaya orang-orang tertentu yang memanfaatkan isi perjanjian itu," tegas Jantje.
Pemprov adalah pemilik aset lahan ruko hanya menerima antara 25 sampai 30 persen dari pembayaran sewa ruko, lalu 75 persen dinikmati PT BPT padahal perusahaan ini tidak punya investasi apa pun di situ.
Sehingga perjanjian kerja sama ini diduga sengaja dibuat untuk tujuan tidak baik sehingga pansus sebagai representatif rakyat Maluku merekomendasikan aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap masalah ini karena sangat menekan pedagang dan pengusaha di ruko.
Sementara Pembina Forum Komunikasi Pengusaha Mardika (GPM), Olaf Saputan mengatakan, pengelola diduga telah melanggar perjanjian kerja sama dengan pemprov.
"Patokan dari pemprov untuk penagihan sewa ruko setahun adalah Rp26,5 juta dan pengelola mendapatkan lima persen, tetapi faktanya ditagih antara Rp100 juta hingga Rp120 juta per tahun," beber Olaf.
Sehingga penyewa ruko meminta ada penyelesaian yang adil, dan dalam surat rekomendasi Gubernur Maluku 2017 dikatakan bahwa rekomendasi ini dikeluarkan, namun kewajiban penyewa untuk membayar biaya sewa kepada pemprov itu akan diperhitungkan oleh tim Apprasial Independen KPKNL terlebih dulu.