Seandainya benteng tua buatan Belanda di Kota Saparua, Maluku Tengah itu bisa berbicara, mungkin dia akan mengeluh, "Mereka hanya merawat rumputku."
Pemikiran itu bisa saja muncul dalam benak setiap orang yang memasuki Benteng Duurstede dan mendapati bangunannya dalam keadaan tidak terawat, kecuali hamparan rumput hijau yang tercukur rapi di lapangan tengah bekas markas pertahanan serdadu Hindia Belanda di Pulau Saparua itu.
Pada prasasti yang berada di dinding sebelah kanan lorong pintu masuk jelas disebutkan bahwa Duurstede baru satu kali mengalami pemugaran, dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kantor Wilayah Provinsi Maluku, mulai Juli 1977 hingga Maret 1982.
"Setelah itu belum pernah ada renovasi lagi," kata Buce Supusepa, petugas penjaga benteng.
Menurut apa yang tertulis di prasasti berbahan batu pualam tersebut, Benteng Duurstede pertama kali dibangun pada tahun 1676 oleh Arnold de Vlaming van Duuds Hoorn, kemudian dilanjutkan pembangunannya pada tahun 1690 oleh Gubernur Nicholaas Schaghen.
Kini berusia lebih dari 400 tahun, bangunan kuno yang menjadi saksi bisu sejarah perlawanan rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura terhadap politik monopoli perdagangan rempah-rempah yang diterapkan Belanda di "negeri raja-raja" itu tidak lagi utuh.
Pada benteng berbentuk bulat itu hanya tersisa satu gedung, konon dahulu merupakan tempat pertemuan tentara kompeni, yang sudah rusak pintu maupun jendelanya, satu ruang penjara, satu ruang penjagaan di pintu masuk, menara pengintai, dan beberapa meriam yang moncongnya mengarah ke Laut Banda.
Di bagian tengah benteng terlihat fondasi bekas bangunan.
Kondisi itu tentu mengundang keprihatinan, mengingat Duurstede adalah salah satu benteng besar peninggalah masa penjajahan di Maluku selain Benteng Amsterdam di Negeri Hila (Pulau Ambon), Benteng Belgica di Pulau Banda, dan Benteng Victoria di Pusat Kota Ambon, yang sepatutnya mendapat perhatian besar pemerintah daerah maupun pusat untuk perawatannya sebagai benda cagar budaya.
Kosong Melompong
Sebagai situs bersejarah, bisa dikatakan Benteng Duurstede pun tidak dikelola secara baik untuk menarik kunjungan wisatawan, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Selain bangunannya yang tidak pernah direnovasi kembali sejak 1982, tidak ada loket untuk pengunjung membeli tiket tanda masuk ataupun kios-kios penjual cendera mata dan jajanan. Kosong melompong adalah kalimat yang cukup tepat untuk memberi gambaran sekilas tentang Duurstede, padahal situs ini punya potensi besar sebagai tempat wisata sejarah maupun rekreasi.
Potensi itu antara lain adanya kegiatan tahunan memperingati hari Pattimura setiap 15 Mei. Prosesi penyalaan obor yang menandai semangat juang para pahlawan dilakukan di depan tribun lapangan sepak bola dekat benteng. Acara juga dimeriahkan tarian adat cakalele yang menyedot perhatian warga masyarakat maupun wisatawan yang kebetulan sedang berada di Maluku.
Di samping itu, lokasi benteng juga berada di dekat dua pantai pasir putih yang menjadi tempat masyarakat setempat maupun wisatawan berekreasi.
Dua pantai itu masing-masing dinamakan Waisisil dan Duurstede.
"Kalau pantai ini namanya Duurstede, yang di sebelah kanan benteng namanya Waisisil," kata Nona Mual, penjaga pantai dan penginapan di pinggir pantai.
Menurut dia, pada hari Minggu atau liburan sekolah banyak wisatawan yang datang untuk mandi matahari dan berenang di dua pantai itu.
Sayang, sama halnya dengan Benteng Duurstede, dua pantai itu pun terbuka untuk umum tanpa ada pungutan uang masuk lokasi pantai, seperti diberlakukan di Pantai Natsepa, Pantai Liang, dan Pantai Namalatu di Pulau Ambon.
"Dari dulu sampai sekarang tidak ada tiket, semua orang bebas masuk ke sini. Padahal, kalau ditata dengan baik pasti bisa jadi lokasi wisata yang menarik dan membuka kesempatan usaha bagi warga sekitar sini," kata Nona Mual.
Dari potensi-potensi yang ada itu, Benteng Duurstede sebenarnya memiliki peluang dikunjungi banyak wisatawan, tetapi memang harus kembali dipugar atau bahkan dikembalikan kondisinya seperti pada zaman dulu kala.
Rekaman Peristiwa
Pemugaran atau pembangunan kembali Benteng Duurstede bisa dikonsepkan dengan pemikiran menjadikannya tempat pengingat atau rekaman peristiwa perjuangan Pattimura dan kawan-kawan melawan penjajah Belanda pada masa lampau.
Di luar benteng memang ada gedung diorama yang menggambarkan peristiwa bersejarah tentang perjuangan Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) dan kawan-kawannya, seperti Anthony Rheebok, Said Perintah, dan Philip Latumahina, merebut Benteng Duurstede dan menumpas habis musuh, termasuk Residen Saparua van Denberg. Akan tetapi, rasanya perlu juga kondisi benteng dibangun kembali sesuai dengan aslinya.
"Memang, seharusnya dibangun kembali sesuai dengan aslinya. Akan tetapi, tentu harus didahului studi kelayakan, termasuk pengumpulan naskah-naskah tentang Duurstede, melibatkan sejarahwan, arkeolog, dan pihak-pihak berkompeten lainnya," kata peneliti budaya Florence Sahusilawane.
Menurut dia, benteng itu juga bisa dibangun kembali dengan konsep museum, memanfaatkan bangunan dan ruang yang ada sebagai perpustakaan atau penyimpan benda-benda pusaka, tanpa mengubah keaslian benteng.
"Benteng itu termasuk benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang sehingga tidak boleh ada pemugaran yang mengubah keasliannya," katanya.
Florence, yang pernah menjabat Kepala Balai Kajian Sejarah dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku, mengakui pemugaran dan perawatan bangunan-bangunan bersejarah di provinsi ini masih kurang mendapat perhatian.
"Menurut saya, DPRD juga harus `care`. Anggaran untuk penyelematan dan pelestarian benda-benda cagar budaya sebaiknya betul-betul diperhatikan," katanya.
"Lihat saja benteng peninggalan Belanda di Negeri Ouw (jasirah tenggara Pulau Saparua, red.)," kata dia, "sekarang hanya tersisa dinding karang berlumut, sama sekali tidak terurus. Jangan sampai Duurstede nanti mengalami nasib serupa."
Benteng Duurstede terletak di dekat Pasar Saparua. Dari Kota Ambon, wisatawan yang ingin mengunjunginya harus menuju pelabuhan kapal cepat, speed boat, maupun feri (kapal motor penyeberangan) di Tulehu untuk menuju ke Pulau Saparua.
Kapal cepat atau speed boat umumnya menuju Negeri Haria, salah satu pintu masuk Pulau Saparua, dan dari tempat itu bisa menggunakan kendaraan penumpang umum menuju Kota Saparua, sekitar 20 menit perjalanan. Adapun yang memilih jasa feri akan turun di Negeri Kulur, kemudian melanjutkan perjalanan darat dengan kendaraan ke Kota Saparua melalui Negeri Pia, sekitar 40 menit.
Waktu tempuh kapal cepat atau speed boat dari Tulehu ke Haria sekira 45 menit, sedangkan feri menuju Kulur membutuhkan waktu 3,5 jam dengan satu persinggahan di Wai Riang, Negeri Kailolo, Pulau Haruku.
Duurstede: "Mereka Hanya Merawat Rumputku"
Jumat, 3 Oktober 2014 13:16 WIB