Ambon (ANTARA) - Pemberlakuan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Ambon dinilai DPRD Maluku sangat terlambat mengingat jumlah pasien terkonfirmasi COVID-19 sudah mencapai 421 kasus, di mana meninggal dunia 10 orang dan 106 lainnya dinyatakan sembuh.
"Sebenarnya pemberlakuan PSSB ini sangat terlambat karena sudah lama diperdebatkan, selanjutnya mengusulkan, setelah sejumlah daerah sudah selesai menerapkan PSBB," kata Wakil Ketua DPRD Maluku, Abdullah Asis Sangkala di Ambon, Senin.
Menurut dia, perdebatan dan diskusi masalah status PSBB untuk Kota Ambon ini sudah dilakukan sejak satu bulan lalu.
Namun sekarang tidak perlu lagi ada perdebatan soal keterlambatan penerapan PSBB tersebut, tetapi jangan sampai di tengah masih tingginya angka terkonfirmasi COVID-19, Pemkot Ambon tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Sehingga Pemkot Ambon harus menggunakan PSBB sebagai payung hukum dalam rangka mendisiplinkan masyarakat dan aparat keamanan juga perlu tegas untuk mengambil tindakan jika PSBB diberlakukan.
"Saya memahami pemikiran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, baik provinsi Maluku maupun Kota Ambon, untuk masyarakat Kecamatan Leihitu dan Salahutu yang menjadi pintu masuk warga dari Pulau Seram dan Buru agar membatasi angka kedatangan mereka ke Kota Ambon," tandas Asis Sangkala.
Yang dikhawatirkan adalah ketika mereka beraktifitas di dalam Kota Ambon dan terinfeksi, maka akan berdampak sangat buruk ketika kembali ke desa tempat menetap.
"Jadi penerapan PSBB ini harus dikomunikasikan secara baik dengan masyarakat di sekitar Pulau Ambon, karena intensitas aktivitas mereka di wilayah ini sangat tinggi," ujar Asis Sangkala.
Makanya komunikasi antara Gubernur, Wali Kota dan para Bupati harus dijalin sebelum penerapan PSBB ini, agar tidak ada diskomunikasi.
Disamping itu masalah jaring pengaman sosial juga harus menjadi perhatian serius dari pemerintah, ketika PSBB diberlakukan, untuk menghindari aksi protes.
DPRD Maluku: Pemberlakuan PSBB Kota Ambon sangat terlambat
Senin, 15 Juni 2020 12:28 WIB