Jakarta (ANTARA) - COVID-19 telah menginfeksi sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia pada April 2020, dan berdampak pada sektor ekonomi yang diprediksi akan membesar.
Hal ini ditunjukkan oleh penurunan signifikan dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020. Ekonomi pun memasuki resesi hingga jutaan orang akan menjadi miskin, tak terkecuali negara Indonesia.
Menurut riset yang dilakukan SMERU, jumlah masyarakat pra-sejahtera di Indonesia akan mencapai 1,3 juta di akhir 2020 dengan prediksi terparah adalah 8,5 juta jiwa. Artinya, kemiskinan yang terjadi akan meningkat menjadi 9,7% dengan range maksimal terparah adalah 12,4%.
Dengan kondisi pandemi yang tidak pasti, masyarakat tidak bisa berdiam diri. Sebab, vaksin virus Covid-19 pun belum ditemukan hingga saat ini. Sehingga, tentu saja keadaan ekonomi belum bisa pulih secara total. Selain itu, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sebanyak 1,9 juta pekerja formal dan informal mengalami PHK dan dirumahkan oleh 114.340 perusahaan di Indonesia hingga 16 April 2020.
Untuk melanjutkan kehidupan yang ada, masyarakat pun perlu berpikir kreatif untuk tetap produktif, salah satunya adalah merintis usaha rumahan atau usaha ultramikro. Tidak sedikit pula yang memilih jalan pintas yang menyebabkan kehidupan makin terpuruk karena terlilit hutang.
Implikasi dari musibah yang ada adalah bahwa Indonesia perlu memperluas program perlindungan sosial untuk membantu golongan pra-sejahtera baru di samping golongan pra-sejahtera yang sudah ada.
Di sisi lain, dampak ekonomi COVID-19 dinyatakan pula sebagai suplai negatif yang meliputi dua hal.
Pertama, pekerja terinfeksi Covid-19yang menyebabkan penurunan kapasitas produksi. Kedua, pembatasan aktivitas yang diperlukan sebagai bagian dari penekanan penyakit. Hal ini tentu sangat berdampak langsung dengan sektor ekonomi.
Mengingat skala masalah yang cukup besar, sumber daya yang diperlukan untuk mempersiapkan hal ini juga akan besar. Untuk memastikan efektivitas program perlindungan sosial ini, Indonesia perlu belajar dari program serupa selama krisis masa lalu maupun dari negara lain.
Salah satu contoh untuk menekan jumlah golongan pra-sejahtera adalah mengurangi beban pengeluaran masyarakat khususnya untuk masyarakat miskin dan hampir miskin.
Ibnu Khajar, Presiden Aksi Cepat Tanggap menyatakan bahwa setiap elemen bangsa harus bahu-membahu dalam menghadapi dan mencari solusi atas dampak ekonomi yang ada.
“Hingga saat ini, belum ada yang bisa memprediksi kapan masa pandemi Covid-19 ini berakhir. Namun, yang bisa dipastikan, angka pengangguran dan kemiskinan akan terus meningkat. Kita ingin memberikan satu nilai tambah baru di lembaga ACT, di mana ada beberapa segmen masyarakat yang akan kita coba optimalkan dalam program pemberdayaan dan penyediaan pangan,” ungkapnya.
Langkah berikutnya, ACT ingin menjadikan momentum ini sebagai penyelamatan. Bahwa civil society perlu mengambil peran signifikan dalam pengentasan atau pemberdayaan masyarakat yang terdampak Covid-19.
“Kami melihat suatu fenomena bahwa ketika Covid-19 ini orang menahan beras, orang menahan bahan-bahan kebutuhan rumah tangganya. Sehingga, kita terus menggerakan program Operasi Beras Gratis, Operasi Makan Gratis. Artinya, gerakan kedermawanan ini harus segera tumbuh. Di saat yang bersamaan seperti saat ini, masyarakat tidak punya modal untuk usaha perbankan mengurangi modal kerja dan pengucuran kreditnya. ACT juga mengucurkan dana sedekah modal kerja untuk masyarakat usaha mikro Indonesia,” tutupnya.
Kolaborasi bersama masyarakat ini diharapkan mampu menopang perekonomian masyarakat dalam program menawarkan solusi ekonomi. Tidak hanya bersifat karikatif atau charity saja, masyarakat pun harus mampu menciptakan industri filantropi dengan berbagai instrumen di dalamnya.
Pandemi, Kemiskinan, dan Industri Filantropi sebagai Solusi Ekonomi
Rabu, 17 Juni 2020 18:14 WIB