Ambon (ANTARA) - Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno, meresmikan gedung Pusat Konservasi Satwa Kepulauan Maluku, di Kota Ambon, Kamis.
Wiratno mengatakan, tujuan Pusat Konservasi Satwa Kepulauan Maluku ini salah satunya untuk tempat transit satwa burung paruh bengkok.
Pusat konservasi satwa itu berada di bawah tanggung jawab Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, sebagai perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk wilayah Provinsi Maluku dan Maluju Utara.
Ada sembilan lokasi pusat konservasi satwa di Kepulauan Maluku yakni, Kota Ambon, dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) sebagai pusat rehabilitasi.
Kemudian Kabupaten Maluku Tengah sebagai stasiun konservasi satwa, dan lokasi lainnya di Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dan Kabupaten Kepulauan Aru.
Baca juga: BKSDA libatkan 30 KPA Maluku jadi kader konservasi di Kota Ambon, begini penjelasannya
Sementara itu, untuk di Provinsi Maluku Utara berlokasi di Kabupaten Halmahera Utara, Kota Ternate, dan Kabupaten Halmahera selatan.
“Jadi ke depannya masih ada banyak lagi yang akan diselamatkan dan diberikan dari Pulau Jawa ke Pulau Maluku, yang jalurnya bisa pakai kapal laut, atau pesawat juga bisa,” kata Dirjen KSDAE, Wiratno.
Ia menerangkan, satwa yang nantinya diamankan perlu adanya karantina atau direhabilitasi untuk mengembalikan sifat liarnya kembali. Setelah itu, satwa tersebut baru dilepasliarkan.
“Jadi nanti tergantung burungnya. Kalau dia sudah tidak bisa terbang sama sekali, itu sulit untuk dilepas liar. Makanya kalau sudah ditangkap, misalnya satwa dari Kepulauan Maluku, segera dikirim ke sini dibiayai dari KSDA Jawa kemudian dilepasliarkan di Maluku,” ucapnya.
Ia menambahkan, program tersebut sangat penting dalam mengembalikan satwa liar.
Kepala BKSDA Maluku, Danny Hendry Pattipeilohy menyebutkan, penyelundupan satwa yang terungkap dalam satu tahun terakhir pada 2021 ada sekitar 600 ekor. Jenisnya ada burung kakatua seram, Kakatua jambul kuning, dan Kakatua Alba atau Kakatua putih.
“Jadi satwa yang dikirim ke Maluku itu kebanyakan disita dalam proses penegakan hukum kemudian dikembalikan lagi ke habitatnya,” kata Danny.
Baca juga: Nuri hitam di Pulau Seram terancam punah, begini penjelasan BKSDA Maluku
Ia mengaku, untuk menjaga satwa tidak dapat berdiri sendiri. Perlu adanya kerja sama dengan masyarakat untuk membantu BKSDA.
“Sekarang kita punya kader konservasi sudah ada. Mereka penting, karena mereka perwakilan dari masyarakat untuk membagi tugas-tugas untuk membantu BKSDA. Kami juga punya kelompok kemitraan dari masyarakat tentunya. Jadi memang mengawasi kawasan konservasi itu tidak bisa sendiri,” pungkasnya.
Baca juga: KLHK tetapkan 185 hektare hutan adat di Maluku Tenggara, begini penjelasannya