Ternate (ANTARA) - Peringatan Hari Pahlawan 10 November tahun 2022 memiliki arti sejarah tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sebab, pada peringatan kali ini diwarnai penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada H Salahuddin bin Talabuddin, tokoh pejuang kemerdekaan yang berasal dari daerah itu.
Presiden Joko Widodo dalam rangkaian peringatan Hari Pahwalan tahun 2022 menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan di Indonesia, yakni H Salahuddin bin Talabuddin dari Maluku Utara, Dr dr H R Soeharto dari Jawa Tengah, KGPAA Paku Alam VIII dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan K H Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.
Dengan dianugerahinya gelar Pahlawan Nasional kepada H Salahuddin bin Talabuddin maka di Provinsi Maluku Utara kini sudah ada tiga pahlawan nasional. Dua pahlawan nasional lainnya adalah Sultan Nuku yang berjuang mengusir Spanyol dan Sultan Baabullah yang berperang mengusir Portugis.
Baca juga: Presiden setujui lima tokoh dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Sejumlah tokoh pejuang di Maluku Utara masih diperjuangkan pemerintah setempat untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, di antaranya Sultan Khairun dan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah dari Kesultanan Ternate dan Sultan Abidin Sjah dari Kesultanan Tidore.
Bupati Halmahera Tengah, Edi Langkara memaknai penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada H Salahuddin bin Talabuddin sebagai bukti bahwa masyarakat Halmahera Tengah pada masa lampau memiliki kontribusi dalam usaha mengusir kolonial Belanda dari bumi Indonesia.
Selain itu, juga menjadi bukti bahwa Halmahera Tengah dan daerah lainnya di Maluku Utara menjadi bagian dari perjuangan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Edi Langkara menggambarkan proses pengusulan H Salahuddin bin Talabuddin ke pemerintah pusat untuk menjadi pahlawan nasional hanya setahun langsung disetujui. Data sejarah yang disajikan terkait perjuangan H Salahuddin bin Talabuddin merupakan sesuatu yang nyata dan tanpa rekayasa.
Penganugerahanan gelar Pahlawan Nasional kepada H Salahuddin bin Talabuddin diharapkan dapat menjadi teladan bagi generasi di Halmahera Tengah dan daerah lainnya di Maluku Utara dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dan daerah.
Pemkab Halmahera Tengah akan mengeluarkan Peraturan Bupati mengenai penetapan tanggal kelahiran H Salahuddin bin Talabuddin sebagai Hari Juang Merah Putih di Halmahera Tengah, yang nantinya akan diperingati setiap tahun untuk menularkan semangat kepahlawanannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Cucu H Salahuddin bin Talabuddin bernama Sahabu Salahuddin bin Talabuddin menceritakan bahwa tahun 1980 tim dari Pemerintah Pusat datang ke Patani, Halmahera Tengah, untuk mencari data kepada keluarga keturunan H Salahuddin bin Talabuddin . Kedatangannya itu terkait rencana pemerintah untuk menjadikan H Salahuddin bin Talabuddin sebagai pahlawan nasional.
Namun, keluarga keturunan H Salahuddin bin Talabuddin saat itu menolak kakek mereka dijadikan pahlawan nasional, karena Hi Salahuddin bin Talabuddin adalah sosok yang sederhana dan rendah hati serta tidak pernah menginginkan balasan dalam bentuk apa pun terkait dengan semua yang dilakukannya, terutama dalam melawan kolonial Belanda.
Akan tetapi, ketika Edi Langkara yang satu kampung dengan H Salahuddin bin Talabuddin dipercayakan menjadi Bupati Halmahera Tengah memberikan pemahaman kepada keluarga tokoh pejuang itu, akhirnya seluruh keluarga H Salahuddin bin Talabuddin mendukung untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Baca juga: Halmahera Tengah bangga Salahuddin bin Talibudin ditetapkan pahlawan nasional
Ditembak Mati
Sesuai catatan sejarah yang disampaikan, H Salahuddin bin Talabuddin yang lahir di Gemia, Patani, Halmahera Tengah, tahun 1874 melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda ketika menjadi anggota Serikat Islam Merah, pecahan dari Serikat Islam HOS Tjokroaminoto di Jakarta.
Seperti hasil riset sejarahwan dari Universitas Khairun Ternate, Irfan Ahmad,SS,MA, bahwa Salahuddin Bin Talabudin merupakan tokoh pergerakan. Dia harus merasakan penjara selama lima tahun di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tahun 1918 hingga 1923, dan Nusakambangan di Jawa Tengah, pada 1941 hingga 1942, serta Bovel Digoel di Papua pada 1943.
Dengan pergerakan yang dilakukannya, sehingga ada tindakan tegas Belanda. Kolonial menangkap dan memenjarakan setiap orang pribumi yang menyuarakan perlawanan. Tapi, itu tidak menciutkan nyali H Salahuddin bin Talabuddin untuk terus menyuarakan perlawanan kepada bangsa penjajah, karena dianggapnya telah mengakibatkan penderitaan panjang masyarakat Indonesia, termasuk di daerah asalnya di Maluku Utara.
Belanda akhirnya menangkap H Salahuddin bin Talabuddin dengan tuduhan melakukan penghasutan kepada rakyat dan membuangnya ke Sawah Lunto pada tahun 1918-1923. Tetapi, ketika bebas semangatnya untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial tetap berkobar.
H Salahuddin bin Talabuddin tahun 1938 bergabung dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terus menyuarakan perlawanan kepada kolonial Belanda hingga akhirnya ditangkap karena aktivitas politiknya yang dianggap meresahkan, yang kemudian dipenjarakan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, selanjutnya dipindahkan ke Boven Digoel, Papua, pada tahun 1941.
Baca juga: Presiden Jokowi anugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh
Ketika Belanda dikalahkan Jepang 1942, H Salahuddin bin Talabuddin bebas dan memutuskan kembali ke kampung halamannya di Halmahera Tengah setelah sempat menetap di Sorong, Papua, selama beberapa saat.
H Salahuddin bin Talabuddin di kampung halamannya mendirikan organisasi Jamiatul Iman wal Islam yang tujuannya mempertahankan Islam dalam negara Republik Indonesia yang diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, Hasil Konferensi Malino bulan Juli 1946 dan Konferensi Denpasar bulan Desember 1946 yang memutuskan pembentukan Negara Indonesia Timur sebagai bagian Republik Indonesia Serikat mendapat penolakan dari H Salahuddin bin Talabuddin, karena masih dikendalikan Belanda.
Menurut Irfan, peneliti dari Yayasan The Tebings, H Salahuddin bin Talabuddin hanya mengakui Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, ia dan pengikutnya melakukan perlawanan hingga kemudian tahun 1947 ditangkap militer Belanda dan menjalani sidang dengan putusan hukuman mati, sedangkan pengikutnya hukuman penjara.
Tahun 1948 H Salahuddin bin Talabuddin menjalani hukuman tembak mati di daerah Skep, Kota Ternate, dan dimakamkan di perkuburan islam yang berdekatan dengan lokasi eksekusi mati, yang juga menjadi lokasi pemakaman pahlawan nasional asal Palembang, Sumatera Selatan, bernama Sultan Badaruddin II yang meninggal di Ternate saat menjalani pengasingan oleh kolonial Belanda.
Seperti penuturan tokoh pemuda Kelurahan Salahuddin Ternate, Boy Fataha Andres, nama kelurahan di lokasi tempat H Salahuddin bin Talabuddin dieksekusi mati diberi nama Kelurahan Salahuddin.
Selain itu, tokoh masyarakat juga mengusulkan nama Kompi Rider Skep, jalan, lokasi penembakan Salahuddin dan kuburan islam, diubah menjadi Salahuddin bin Talabuddin, Hal itu untuk mengabadikan nama tokoh pejuang kemerdekaan yang kegigihannya dalam melawan kolonial Belanda tidak hanya diakui masyarakat di Kabupaten Halmahera Tengah tersebut, tetapi juga di Kota Ternate dan daerah lainnya di Maluku Utara.
Baca juga: DPRD Maluku usulkan seminar nasional tokoh perjuangan AM Sangadji