Ambon (ANTARA) - Internasional Conference and Consolidation on Indegenous Religion (ICIR) Rumah bersama bersinergi dengan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Maluku, melaksanakan konferensi Internasional sebagai upaya bersama konsolidasi masyarakat sipil yang marjinal.
Seminar internasional Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR) ke enam tahun 2024. mengangkat tema 'Performing Revormacy" sebagai upaya konsolidasi masyarakat sipil sebagai pelaksanaan demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Selain itu ketahanan demokrasi, kedaulatan ekonomi, dan keterlibatan masyarakat; demokrasi digital, hak asasi manusia, dan inklusi, serta ekologi, pembangunan, dan demokrasi sehari-hari," kata Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Samsul Maarif, di Ambon, Rabu.
Ia mengatakan, ide-ide keseharian yang dipraktikkan oleh masyarakat, terutama kelompok marjinal dan rentan, patut diperhitungkan sebagai pemajuan demokratis atau kewarganegaraan yang substantif, dan akan banyak digali dan dikembangkan dalam ICIR 6.
Pelaksanaan ICIR ke 6 di Ambon, katanya merupakan simbolisasi pemajuan demokrasi berbasis keseharian masyarakat adat dan penghayat kepercayaan leluhur Naulu, Huaulu, Nuniali, dan suku lainnya di Maluku.
"Kelompok rentan, termasuk para penghayat kepercayaan dan masyarakat adat yang terlibat dalam ICIR 6, tidak diperlakukan sebatas klien atau objek oleh para kontestan, tetapi diharapkan dapat memberikan masukan, " katanya.
Rektor IAKN Ambon, Yance Z. Rumahuru menyatakan setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh sebagai hasil pelaksanaan konferensi internasional.
Yang pertama diharapkan dapat berguna untuk menyusun kebijakan, dan yang kedua tentu akan menindaklanjuti dengan riset dan penelitian.
Kelompok yang ditargetkan dalam kegiatan ini, yaitu kelompok marjinal, yang dianggap rentan terhadap ketahanan demokrasi.
*Kami menyasar kelompok-kelompok yang dimarjinalkan, seperti kelompok penghayat atau agama suhu atau agama leluhur, kemudian kelompok perempuan, difabel, dan masih ada kelompok-kelompok tertentu yang belum diperhatikan secara berimbang," katanya.
Ia menambahkan, kesadaran kolektif di tengah masyarakat menjadi semakin lebih meningkat terkait keberadaan kelompok-kelompok tersebut, sehingga akses keadilan dan demokrasi tidak lagi menjadi hal yang sulit.
"Kami mengumpulkan para akademisi dan partisi dari berbagai perguruan tinggi, kementerian, NGO, untuk mendiskusikan dan mendengarkan dari masyarakat tentang apa yang menjadi kegelisahan mereka. Harapannya demokrasi yang seluas-luasnya itu bisa diakses oleh semua kelompok masyarakat," katanya.