Jakarta (ANTARA) - Kisruh di tubuh Partai Demokrat yang terjadi akhir-akhir ini cukup menyita perhatian publik.
Bagaimana tidak, sejak partai tersebut didirikan pada 9 September 2001 dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 27 Agustus 2003, baru kali ini partai berlambang mercy tersebut diterpa badai konflik yang menguras banyak energi.
Sebelum kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara berlangsung, isu pengambilalihan pucuk pimpinan yang saat ini di tangan Mayor Inf Purnawirawan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah berhembus kencang.
Sejumlah petinggi partai menuding keterlibatan orang yang berada dalam lingkaran istana. Tidak menunggu lama, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief menuding Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko sebagai aktor di balik rencana kudeta partai politik tersebut.
Kemudian dilanjutkan pula giliran Ketua Umum Partai Demokrat AHY mengirimi Presiden Jokowi surat untuk memastikan atau meminta klarifikasi ihwal isu kudeta tersebut.
Menanggapi tudingan tersebut, Moeldoko langsung bereaksi dan membantah akan melakukan kudeta partai yang membawa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden keenam RI tersebut.
Moeldoko juga mengingatkan AHY agar tidak melibatkan istana dan Presiden Jokowi dalam permasalahan tersebut karena hal itu merupakan persoalan dirinya secara pribadi. Terkait pertemuan Moeldoko dengan sejumlah kader Partai Demokrat di kediamannya, Sang Jenderal menilainya sebagai hal yang wajar.
Setidaknya untuk menandakan sosok Moeldoko sebagai seseorang yang tidak membatasi diri dengan siapapun yang ingin berkomunikasi dengannya. Di sisi lain, ia tidak menampik bahwa tamu yang mendatanginya kala itu mencurahkan isi hati terkait kondisi di tubuh Partai Demokrat.
"Kemudian, mereka 'curhat' situasi yang dihadapi, ya gua dengerin aja. Berikutnya ya udah dengerin aja. Saya sebenarnya prihatin gitu ya dengan situasi itu, karena saya juga bagian yang mencintai Demokrat," ujarnya.
Terkait bergulirnya isu yang menimpa dirinya, Moeldoko memberikan saran agar seorang pemimpin tidak boleh terombang ambing dan harus kuat. Bahkan, ia juga meminta agar jangan mudah terbawa perasaan.
Tidak jelas secara pasti ke mana arah ucapan Sang Jenderal, namun kuat dugaan pernyataan tersebut ditujukan pada putra sulung Presiden RI keenam yakni AHY yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrat.
Terima jabatan Ketua Umum
Sempat membantah tudingan bahwa dirinya akan melakukan pengambilalihan pucuk pimpinan Partai Demokrat, akhirnya Sang Jenderal malah menerima tawaran sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang berlangsung pada 5 Maret 2021 di salah satu hotel di daerah itu.
Moeldoko sendiri tidak hadir secara langsung pada penyelenggaraan KLB Demokrat yang dinilai Ketua Umum Partai Demokrat AHY sebagai KLB abal-abal. Namun, pada prosesnya Moeldoko berkomunikasi dan menerima permintaan para peserta KLB agar bersedia menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021 hingga 2025 melalui sambungan telepon genggam.
Sebenarnya, selain Moeldoko, nama eks Ketua DPR RI yang juga mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Marzuki Alie juga masuk dalam bursa pemilihan. Namun, pada akhirnya KLB memutuskan Moeldoko sebagai ketua terpilih dan Marzuki Alie sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Terpilihnya Sang Jenderal bintang empat tersebut tentunya bertolak belakang dengan tuturan yang sebelumnya sempat ia lontarkan. Ia mengaku tidak terlibat dalam upaya kudeta sebagaimana tudingan yang dialamatkan padanya.
Kini, jabatan baru telah disematkan kepada Sang Jenderal sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. Pihak penyelenggara juga mengklaim telah menyerahkan berkas-berkas atau dokumen hasil KLB ke Kemenkumham.
Meskipun klaim itu dibantah oleh Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kememkumham Baroto yang mengatakan belum ada dokumen KLB Partai Demokrat di Deli Serdang yang masuk ke instansi tersebut.
"Belum ada dokumen yang masuk," kata Baroto saat dihubungi.
Berseberangan dengan kubu Moeldoko, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau yang kerap disapa AHY telah menyerahkan lima boks kontainer bukti atau dokumen ke Kemenkumham RI terkait kisruh di internal partai tersebut.
Berkas-berkas yang diserahkan guna melengkapi data dan fakta bahwa KLB yang diselenggarakan di Deli Serdang tidak sah serta tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Berkas diterima langsung oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham RI Cahyo R Muzhar.
Lebih rinci, lima boks yang diserahkan itu berisi lembar dokumen bukti terkait kepengurusan sah dewan pimpinan pusat (DPP), dewan pimpinan daerah (DPD) dan dewan pimpinan cabang (DPC) Partai Demokrat se-Indonesia.
Kemudian, pengurus Partai Demokrat juga menyerahkan dokumen anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang telah disahkan oleh Kemenkumham RI tahun lalu.
AHY juga menyerahkan daftar kepengurusan dan kepemimpinan Partai Demokrat berdasarkan Kongres Kelima Partai Demokrat pada 15 Maret 2020.
Kemenkumham sendiri menyatakan akan mempelajari dan menelaah lebih jauh berkas-berkas yang diserahkan Ketua Umum Partai Demokrat itu. Namun, belum bisa dipastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses tersebut.
Kekecewaan SBY
Di balik karir mentereng Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko, peran Presiden RI keenam SBY tentu tidak bisa dipungkiri. Bagaimana tidak, menantu Letnan Jenderal (Letjen) TNI Purnawirawan Sarwo Edhie Wibowo tersebut merupakan orang yang menunjuk Moeldoko sebagai Kepala Staf TNI AD (KSAD).
Tak lama berselang, sekitar tiga bulan setelahnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut mengajukan nama Moeldoko ke DPR RI sebagai calon Panglima TNI menggantikan Agus Suhartono.
Dari fakta tersebut tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa SBY merupakan sosok yang cukup berpengaruh pada perjalanan karir militer Sang Jenderal yang kini menjadi "lawan" politik AHY yang tak lain merupakan anak kandung SBY.
Bahkan, SBY mengaku bersalah dan meminta ampun kepada Allah SWT karena telah memberikan jabatan kepada Moeldoko semasa dirinya menjabat orang nomor satu di Tanah Air.
"Termasuk rasa malu dan bersalah saya yang dahulu beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya (Moeldoko). Saya mohon ampun kepada Allah atas kesalahan saya itu," ujarnya.
Tidak lazim
Peristiwa politik yang terjadi pada 5 Maret di Deli Serdang, Sumatera Utara mendapat sorotan dari sejumlah pakar politik, termasuk pula pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro. Ia menilai KLB Partai Demokrat tersebut tidak lazim sebab tidak mengikuti AD/ART.
Apalagi, ketua umum yang dimunculkan dan terpilih yakni Moeldoko, bukan kader partai. Kondisi itu akan membingungkan dunia politik, demokrasi, kelompok intelektual serta pihak-pihak yang belajar demokrasi.
Jika dilihat dari perspektif demokrasi, KLB Demokrat yang digelar di salah satu hotel di Sumatera Utara tersebut memprihatinkan karena melanggar kaidah sebagaimana tercantum dalam AD/ART Partai Demokrat.
Menurutnya, KLB telah menafikan etika dan norma serta menjungkirbalikkan peraturan partai. Akibatnya, masyarakat dibuat semakin bingung dengan atraksi politik KLB Demokrat. Lebih miris lagi, Siti menilai kondisi tersebut mencerminkan para elite hanya bersaing dan berpikir untuk 2024 saja.
Padahal, saat bersamaan masyarakat yang dibuat bingung saat ini tengah kesusahan menghadapi pandemi COVID-19. Ditambah lagi, perhatian publik malah jadi turut tertuju pada KLB Demokrat.
"Ini sebenarnya menguras energi publik dan sebenarnya publik sudah jengah dengan masalah-masalah seperti ini," kata Siti.
Siti juga heran alasan dibalik masih adanya anak bangsa yang terperangkap dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia sehingga muncul kudeta dan sebagainya. Padahal, Presiden telah menyerukan agar semua elemen masyarakat dapat bersatu padu.
Pada dasarnya dualisme atau kisruh di dalam tubuh partai politik hanya melibatkan langsung kader atau internal partai saja. Namun, ada yang berbeda dengan kejadian di tubuh Partai Demokrat karena Moeldoko yang bukan kader partai muncul ke permukaan secara terang-terangan.
Kondisi tersebut terjadi karena etika dan moral politik yang sudah mulai pudar, bahkan tidak ada. Padahal, posisi etika sesungguhnya berada di atas hukum.
Melihat beberapa kejadian kisruh partai yang terjadi di Tanah Air, maka perlu adanya perbaikan yang lebih baik ke depannya. Salah satu evaluasi yang mesti dilakukan partai politik ialah terkait pemilihan pimpinan baru.
Selama ini, setiap kongres, musyawarah nasional (munas) atau pemilihan ketua umum dan perangkat lainnya kerap menampilkan satu calon saja. Padahal, politik yang sehat serta membangun seharusnya dapat memberikan sejumlah pilihan.
Sebut saja, Partai Golkar, Gerindra, Demokrat serta PAN yang sudah bisa ditebak orang-orang yang bakal terpilih sebagai pemilik kursi nomor satu di partai-partai tersebut. Bahkan, termasuk pula PDI-P yang identik dengan Megawati Soekarnoputri sebagai orang nomor satunya.
Berkaca dari kondisi tersebut, ke depan diharapkan tidak ada lagi partai politik yang mengerucutkan calon tunggal untuk diusung pada proses pemilihan. Dengan kata lain tidak menganggap calon tersebut lebih unggul dari kader lainnya.
Sebab, jika kondisi itu terus dibiarkan, maka hal itu berarti masyarakat sedang membangun partai politik yang tidak mudah. Jika kompetisi kontestasi politik tidak menjadi kekhasan orang Indonesia, sebaiknya dicarikan solusi lain.
Tujuannya ialah agar para kader yang juga memiliki hak otonom mendapatkan representasi mereka serta merasakan kepemilikan atas partai tempat mereka bernaung. Jangan sampai hak dan suara para kader malah dikebiri.
Sudah seharusnya dominasi-dominasi tunggal yang terjadi selama ini di tubuh partai terutama menjelang pemilihan pimpinan harus diputus. Jika hal itu bisa diterapkan, maka diyakini tidak akan ada kader partai yang menjadi kutu loncat sebagaimana banyak terjadi di Tanah Air.
Kesimpulannya, setiap partai politik di negeri ini harus bisa memberikan kesempatan yang sama bagi semua kader yang memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas di tubuh partai politik.
"Jadi jangan langsung dikunci misalnya anaknya saja, suami, kerabat dan sebagainya," ujarnya.
Kini, baik kubu AHY maupun kubu Moeldoko saling menyusun strategi jitu agar tujuan politik masing-masing pihak tercapai. Pertarungan Sang Jenderal dan Mayor tentunya menarik untuk dilirik dengan harapan bisa memberikan pencerdasan dan pendewasaan politik bagi masyarakat.
Adu strategi Jenderal versus Mayor untuk meraih kursi Demokrat
Kamis, 11 Maret 2021 15:15 WIB