Ambon (ANTARA) - San Herman Palijama (34) dan Muhammad Romi Arwanpitu (38), dua oknum polisi yang bertugas di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease dituntut 10 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum karena terlibat kasus penjualan senjata dan amunisi ke Papua.
"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan kedua terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12/1951 tentang mengubah Ordonnantie Tijdelikke Bijzondere Strafbepalingen (STBL 1948 No 17) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 338 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata JPU Kejaksaan Negeri Ambon, Eko Nugroho di Ambon, Rabu.
Tuntutan jaksa disampaikan dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon, Pasti Tarigan, dan didampingi dua hakim anggota.
Dalam persidangan itu, jaksa juga menuntut empat terdakwa lainnya yang merupakan warga sipil dan terlibat dalam kasus penjualan senpi dan amunisi itu secara bervariasi.
Untuk terdakwa Sahrul Nurdin (39) dituntut 12 tahun penjara, sementara Ridwan Mohsen Tahalua (44), Handri Morsalim (43) dan Andi Tanan (50) dituntut delapan tahun penjara.
Enam terdakwa ini dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama menerima, menyerahkan, membawa, menguasai, menyimpan, menyembunyikan, mempergunakan senjata api dan amunisi tanpa hak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12/ 1951.
Ada pun hal yang memberatkan para terdakwa dituntut penjara karena perbuatan mereka meresahkan masyarakat, dan senjata-senjata dan amunisi tersebut digunakan untuk merongrong negara.
Kemudian terdakwa Sahrul Nurdin pernah dihukum dan menjadi pelaku utama dari peredaran senjara api itu.
Selanjutnya San Herman Palijama, oknum polisi, ini pernah menjual senjata laras panjang sebanyak dua kali ke Papua, sedangkan Muhammad Romi Arwanpitu, yang juga polisi, pernah dihukum dalam kasus narkotika.
Sedangkan yang meringankan adalah para terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui semua perbuatannya.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan, perbuatan para terdakwa terjadi sejak 2020 dan 2021 di beberapa tempat, yaitu pangkalan ojek Desa Batu Merah, Pasar Arombai Mardika, Pasar Mardika Ambon, bawah Jembatan Merah Putih, dan kawasan Kapaha, Kecamatan Sirimau, Ambon.
Para terdakwa saat itu bersama-sama dengan Welem Taruk (terdakwa dalam berkas perkara tersendiri yang diajukan penuntutan secara terpisah/splitching) dan Atto Murib (DPO) melakukan atau turut serta sengaja menerima, menyerahkan, membawa, menguasai, menyimpan, menyembunyikan, mempergunakan senjata api dan amunisi tanpa hak.
Peristiwa itu berawal ketika Murib yang merupakan pemilik tambang emas di km 54 Kabupaten Nabire, Provinsi Papua berkenalan dan meminta Taruk yang berasal dari Ambon untuk mencari senjata api dan amunisi untuk dibeli.
Permintaan pencarian senjata api dan amunisi di Ambon diminta Murib karena Ambon merupakan daerah bekas kerusuhan atau konflik.
Atas permintaan itu, Taruk kemudian berkenal dengan terdakwa Sam, oknum polisi untuk menanyakan senjata rakitan kepadanya.
Mendengar permintaan Taruk, Sam kemudian menyampaikan dia akan mencari senjata api rakitan. Ia kemudian menghubungi Iwan Touhuns, warga Rumahkay yang masih DPO untuk melakukan pencarian senjata rakitan.
"Iwan Touhuns menyampaikan kepada terdakwa dua (Sam) bahwa ia akan mengecek ke iparnya terlebih dahulu dan apabila ada maka ia akan menghubungi Terdakwa 2," kata Eko.
Pada Oktober 2020, Iwan menghubungi Sam karena ada senjata api rakitan jenis SS-1 (senjata organik alat negara) yang bisa dibeli dengan harga Rp8 juta. Mengetahui hal itu Sam kemudian pergi ke Desa Rumah Kai untuk melihat senjata serbu perorangan itu.
Setelah memastikan senjata itu ada dan berfungsi, Sam langsung menghubungi Taruk untuk memberitahukan bahwa dia sudah mendapatkan senjata api rakitan seharga Rp.20 juta.
Esok harinya, Toruk datang dengan mobil Avansa Veloz hitam. Ia menunggu Sam. Sam kemudian menyerahkan senjata api rakitan setelah Toruk memberikan uang sebesar Rp20 juta. Usai menjual senjata api rakitan kepada Toruk, Sam kembali ke Desa Rumah Kai untuk membayar harga senjata tersebut yang dibeli dari Iwan sebesar Rp8 juta.
"Pada Desember 2020 terdakwa dua kembali mendapatkan informasi dari Iwan bahwa ada senjata rakitan yang mau dijual dengan harga Rp6 juta," ujar Eko.
Mendapat informasi itu, Sam segera menghubungi Taruk Ia kembali menyampaikan senjata api yang didapat harganya sama yaitu Rp20 juta. "Saat itu Welem langsung transfer ke rekening terdakwa dua.
Setelah mendapatkan uang itu Sam berangkat ke Desa Rumah Kai bertemu Iwan. Ia lalu menyerahkan uang sebesar Rp6 juta. Iwan lalu pergi mengambil senjatanya di Desa Kamariang.
Iwan kembali membawa senjata api rakitan jenis SS1 dan diserahkan kepada terdakwa II selanjutnya dia membawa senjata tersebut ke rumahnya di Desa Pia, Saparua lalu pada bulan Januari 2021 Welem datang mengambilnya, dan membawa senjata lewat jalur Seram (menggunakan Feri) menuju ke Papua.
Lebih lanjut disampaikan, pada Agustus 2020 di pangkalan Ojek Lorgi Desa Batu Merah Kecamatan Sirimau, Ambon, terdakwa Muhammad Romi Arwanpitu, oknum polisi, sebelumnya mendapatkan senjata api jenis pistol dari saksi Amirudin Lessy, oknum anggota TNI AU (diproses pidana militer).
Setelah mendapatkan pistol, Romi kemudian bertemu terdakwa Ridwan Mohsen Tahalua. Romi berbisik ke telinga Ridwan kalau ada senjata api.dan menawarkan untuk menjualnya.
"Ada senjata, bisa jual ini tidak? (sambil terdakwa Romi mengangkat baju dan menunjukan pistol yang terselip pada pinggangnya)," kata Eko.
Melihat pistol di samping pinggang Romi, Ridwan kemudian mengaku akan menjualnya. Romi yang mengaku pistol itu bekas konflik kemanusiaan lalu meminta untuk menjualnya seharga Rp5 juta.
"Pistol itu kemudian di bawa ke Pasar Arumbai untuk ditawarkan ke Sahrul Nurdin (terdakwa I)," tandas Eko.
Sahrul membeli pistol itu seharga Rp5 juta yang diserahkan secara bertahap. Uang itu kemudian diberikan kepada Romi, oknum anggota Polresta Ambon tersebut.
Selanjutnya, kata Eko, pada awal 2020 Handri Morsalim (terdakwa V) mempunyai senjata api laras pendek rakitan beserta satu amunisi yang sebelumnya milik mertuanya.
Handri kembali bertemu terdakwa Sahrul di Pasar Mardika. Ia menyampaikan memiliki senjata api. Sahrul lalu mendatangi rumah Handri untuk membeli senjata api laras pendek dan satu dus full amunisi seharga Rp1 juta.
Kemudian pada November 2020 Andi Tanan (terdakwa VI) yang bersahabat dengan Welem Taruk (DPO), kemudian mencari saksi Milton Sialeky, oknum anggota TNI AD (diproses pidana militer).
Untuk yang pertama adalah pembelian 100 butir peluru kaliber 5,56 pada sekitar November 2020 bertempat di bawah Jembatan Merah Putih dengan harga Rp500.000.
Pembelian kedua kalinya, juga terjadi pada November 2020 atau satu minggu berselang dari pembelian yang pertama, pembelian yang kedua bertempat di depan rental mobil Toking, dimana saat itu saksi Milton Sialeky menjual 100 butir peluru kaliber 5,56 dengan Rp500.000 kepada terdakwa VI.
Untuk pembelian ketiga yang terjadi pada sekitar Januari 2021 bertempat di depan gereja Pantekosta di Lampu Lima Kecamatan Sirimau Kota Ambon sekitar pukul 23.00 Wit, dimana saat itu Milton menjual 400 peluru kaliber 5,56 mm kepada terdakwa VI dengan harga Rp1 juta.
Terdakwa VI membeli amunisi itu dari Milton menggunakan uang yang dikirim Atto Murib. Lalu terdakwa 6 bertemu dengan Welem Taruk untuk bertemu di depan Gereja Pantekosta pada sekitar bulan Januari 2021 pukul 22.00 Wit sesuai perintah Atto Murid untuk mengambil amunisi tersebut. Welem datang menemui Terdakwa 6 dan mengambil amunisi tersebut untuk dibawa pergi.
Saat ditangkap, Welem Taruk kedapatan membawa barang bukti antaranya satu senjata api Iaras pendek asli jenis revolver, tujuh peluru kaliber 0,38, 600 peluru kaliber 5,56 mm, senjata api Iaras panjang dan magazine.
Dua oknum polisi jual senjata api ke Papua dituntut 10 tahun
Rabu, 19 Mei 2021 19:30 WIB