Jakarta (ANTARA) - "Sebagai wartawan, saudara punya pekerjaan itu sebetulnya 'gawat' sekali," kata Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno, dalam pidatonya di depan para pewarta pada sebuah kesempatan.
Bagi Sang Proklamator, tugas pewarta itu 'gawat' karena mereka memiliki kuasa untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. Benar atau keliru, maka masyarakat bakal percaya.
Namun, kerja jurnalistik memang sering kali menyerempet kegawatan dalam arti sebenarnya. Ada yang berhadapan dengan perang, bencana alam dan, tentunya, pandemi virus seperti saat ini. Situasi itulah yang dihadapi seorang Sigid Kurniawan, pewarta foto LKBN Antara yang berangkat ke Jepang untuk meliput Olimpiade 2020 di tengah kungkungan pandemi virus SARS-CoV-2. Menunaikan tugas liputan ke luar negeri bukanlah hal asing bagi Sigid. Akan tetapi, kondisi sekarang berbeda. Penyakit pernapasan COVID-19, yang disebabkan SARS-CoV-2, mengintai di mana-mana.
Baca juga: Meraih berkah Idul Adha 1442 Hijriah dengan tetap di rumah saja
Belum lagi beban mental jauh dari keluarga. Demi meliput Olimpiade 2020, Sigid bahkan rela tidak menyaksikan kelahiran anak keduanya, Andini Padma Maheswari, pada 13 Juli 2021 di Yogyakarta karena dirinya menjalani karantina, sebagai persyaratan dari otoritas Jepang, di Depok, Jawa Barat.
"Saya sudah pasrah pada Tuhan," ujar pria asal Bantul, DI Yogyakarta, itu.
Tugas tetaplah tugas. Sebagai pewarta foto kantor berita milik Indonesia, misi utamanya adalah mendapatkan dokumentasi para atlet Tanah Air di Olimpiade dan menyiarkannya hingga seluruh pelosok Nusantara. Sigid pun menyiapkan dan menjalankan semua persyaratan agar bisa masuk ke Jepang dengan aman dan lancar mengerjakan kewajiban.
Langkah pertama yang ditapakinya yaitu menjalani karantina mandiri selama dua minggu di Indonesia, dengan satu minggu terakhir wajib mengikuti tes usap PCR setiap hari sesuai permintaan pemerintah Jepang. Tesnya pun tidak bisa di sembarang tempat. Mesti di rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang. Hal tersebut wajib dilakukan karena pemerintah 'Negeri Samurai' memasukkan Indonesia ke Grup 1, yaitu negara yang memiliki risiko tinggi COVID-19. Selain Indonesia, di Grup 1 ada Afghanistan, India, Kyrgyztan, Maladewa, Nepal, Pakistan, Sri Lanka dan Zambia.
Sebagai perbandingan, warga dari negara-negara di Grup 2 yakni Bangladesh, Malaysia, Uganda, Uni Emirat Arab dan Britania Raya 'hanya' diwajibkan tes usap PCR per-hari selama tiga hari sebelum terbang ke Jepang.
Selama proses tes berlangsung, Sigid Kurniawan dan semua pewarta non-Jepang juga harus menyiapkan beberapa dokumen pelengkap seperti paspor, 'pre-valid card' (PVC/kartu pengenal khusus mereka yang berkaitan dengan Olimpiade) dan rencana aktivitas (activity plan) yang sudah disahkan oleh otoritas 'Negeri Matahari Terbit'.
Dua Jam di Bandara Haneda
Jumat, 16 Juli 2021, malam, Sigid berangkat ke Tokyo, Jepang, dengan menumpang maskapai Garuda Indonesia. Perjalanan memakan waktu tujuh jam. Begitu mendarat di Bandar Udara Internasional Tokyo Haneda, Sigid tidak bisa langsung keluar dari pesawat. Dia baru bisa meninggalkan kursi sekitar 20 menit setelah semua penumpang lain beranjak.
"Karena datang dengan tujuan Olimpiade, saya harus menunggu sukarelawan Olimpiade yang menjemput hingga ke depan pintu pesawat. Dia yang mengarahkan saya untuk proses selanjutnya," tutur Sigid.
Di bandara, jalur penumpang Olimpiade dipisahkan dari masyarakat umum. Namun, bukan berarti itu menyingkat proses yang harus dilewati sebelum dapat meninggalkan pelabuhan udara tersebut. Sigid berkisah, di Haneda, dirinya menyinggahi setidak-tidaknya lima pos pemeriksaan. Ada yang meminta dokumen seperti hasil tes usap PCR dari Indonesia, PVC dan 'activity plan' yang sudah disahkan.
Di sela itu, ada juga gerai tes COVID-19 berbasis air liur (saliva). Hasilnya muncul sekitar setengah jam. Kalau negatif, baru bisa melangkah ke konter selanjutnya. Tahap terakhir pengecekan di Bandara Haneda bergulir di hadapan petugas imigrasi dan bea cukai setempat, masih dengan jalur khusus Olimpiade.
Di bea cukai, barang-barang bawaan Sigid dibongkar. Sempat terjadi kisah unik saat pegawai bea cukai kebingungan melihat kotak minyak balur 'kutus-kutus'.
"Di bungkusnya, kan, tidak ada keterangan bahasa Inggris, hanya Indonesia. Jadi petugasnya bingung dan terus memeriksa. Agak membutuhkan waktu memang. Saya jelaskan itu untuk pijat dan akhirnya dia mengembalikannya," kata Sigid.
Semua proses selama di bandara berlangsung kurang lebih dua jam. Selama itu, pelancong internasional juga dilarang berinteraksi sembarangan, misalnya tidak diperbolehkan ke tempat penukaran uang. Ketika tas-tas dan perlengkapan sudah di tangan, saatnya menuju ke hotel yang telah ditunjuk untuk melakukan karantina. Tidak perlu bingung, sebab panitia Olimpiade menyediakan transportasi gratis berupa bus dan taksi yang mengarah ke penginapan.
Baca juga: Tips cara penyembelihan hewan kurban selama pandemi COVID-19
Karantina (Lagi)
Khusus untuk mereka yang berkaitan dengan Olimpiade 2020, masa karantina di hotel hanya tiga hari, tidak 14 hari seperti turis biasa. Namun, hari pertama isolasi dihitung dari satu hari setelah kedatangan di Jepang. Jadi, misalnya tiba pada Sabtu, karantina dilaksanakan pada Minggu hingga Selasa.
Mulai masa karantina hingga akhir Olimpiade 2020, pendatang tidak boleh berganti hotel. Ongkos menginap serta konsumsi ditanggung individu dan pemeriksaan COVID-19 dilakukan setiap hari selama isolasi mulai hari pertama. Tenaga kesehatan datang setiap pukul 11.00 waktu setempat untuk mengambil sampel saliva yang diperiksa dengan metode PCR. Ini gratis sebagai bagian dari fasilitas Olimpiade 2020.
"Ketika karantina berakhir dan hasil tes negatif, kami baru bisa beraktivitas di luar tetapi itu hanya terbatas di hotel, pusat media (media center) dan arena Olimpiade 2020 Transportasi mesti menggunakan bus dari panitia. Sementara untuk tes COVID-19 tetap dilakukan secara rutin," ujar Sigid.
Tidak lupa, laporan harian tentang kondisi tubuh juga mesti diberikan ke pemerintah Jepang melalui perangkat lunak bernama OCHA (Online Check-in and Health report App).
Jepang sebagai negara tuan rumah Olimpiade 2020 memang memberlakukan protokol kesehatan ketat terhadap para atlet dan ofisial dari luar negeri demi meniadakan kasus COVID-19 selama turnamen empat tahunan itu berlangsung. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga sudah mewanti-wanti karena di Tokyo, yang menjadi pusat pelaksanaan Olimpiade 2020, sudah menyebar virus SARS-CoV-2 varian delta.
Itu juga yang membuat Jepang meniadakan penonton di arena saat Olimpiade dilaksanakan. "Kami tentu saja mesti menghindarkan Tokyo dari penyebaran infeksi," tutur Suga.
Indonesia mengirimkan 28 atlet ke Olimpiade 2020 yang berlangsung pada 23 Juli-8 Agustus 2021. Para atlet tersebut akan berlaga di delapan cabang olahraga yaitu bulu tangkis, atletik, panahan, menembak, dayung, selancar, angkat besi dan renang.
Atlet memang menjadi aktor utama di Olimpiade 2020. Namun, mereka tidak akan dapat berprestasi maksimal andai tak ada dukungan dari belakang.
Di situlah bagian para ofisial, pendamping kontingen, termasuk pewarta yang selalu mengabarkan informasi kepada masyarakat di Tanah Air. Saat Olimpiade 2020 bergulir, semua yang memiliki kata 'Indonesia' di dada dan punggungnya sama-sama berkewajiban menjaga nama baik bangsa.
Di tengah kepungan COVID-19, semoga nilai-nilai Olimpisme yaitu prestasi, persahabatan dan rasa hormat, tak lekang dari sanubari.
Baca juga: Benarkah gejala awal COVID-19 terdeteksi dari gangguan mata?
Baca juga: Mengupas tuduhan dr Lois Owien, benarkah kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat?
Merentang jalan ke Jepang, kisah ANTARA meliput Olimpiade di saat pandemi
Rabu, 21 Juli 2021 6:05 WIB