Jakarta (ANTARA) - Fawzia Dilla (26) mulai berjualan makanan sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Berawal dari hobi semata, usaha tersebut digeluti hingga sekarang dengan tambahan variasi makanan yang lebih beragam dan tak hanya menjual makanan.
Setelah berumah tangga dan melahirkan, ibu dua anak ini turut menjual bahan makanan untuk Makanan Pendamping ASI (MPASI) guna menambah jenis produk yang dijualnya dan meningkatkan usaha.
Tak berhenti dengan hanya menambah jenis produk yang dijual, wanita yang akrab dipanggil Dilla ini pun sudah melebarkan sayap dengan menambah cara berjualan tak hanya secara langsung atau offline, namun juga secara daring atau online.
"Bertambah jualan ke online untuk menambah pasar yang lebih dan memudahkan transaksi ketika pembelinya ada di jarak jauh dari kami. Namun saat ini untuk online baru melalui Whatsapp dan Instagram," ungkap Dilla.
Dari transformasi digital tersebut, konsumen yang memesan menjadi lebih banyak dan beragam sehingga pendapatan bisa naik tiga kali lipat dari sebelumnya yang hanya berjualan secara offline saja.
Baca juga: Kisah Simon Tabuni, wirausaha muda Papua lulusan Inggris yang tolak jadi PNS
Jumlah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang beralih ke bisnis online memang meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat terdapat 19 juta UMKM masuk ke ekosistem digital setelah pandemi COVID-19 atau naik hampir 130 persen, dengan target 30 juta UMKM onboarding ke platform digital pada tahun 2024.
Pandemi menjadi pendorong kuat UMKM menggunakan teknologi digital untuk beradaptasi, bertransformasi, bertahan, dan bertumbuh. Dengan demikian, transformasi digital menjadi salah satu agenda transformasi Kemenkop UKM.
Meski transformasi digital terus digiatkan, masih terdapat agenda transformasi Kemenkop UKM lainnya yang terus dikejar, yakni transformasi dari usaha informal menjadi formal, transformasi UMKM masuk ke dalam rantai global dan ekspor, korporasi modern dan terdigitalisasi, serta penciptaan wirausaha baru yang mapan, berinovasi, berkelanjutan, dan menciptakan lapangan kerja.
Tresno (46) merupakan salah satu pegiat UMKM yang berhasil menembuskan usahanya ke dalam rantai global dan ekspor. Pengrajin sepatu ini memanfaatkan platform e-commerce untuk memasarkan produknya ke pembeli dari berbagai negara.
Selama dua tahun go international, pengusaha paruh baya ini mengatakan sudah terdapat empat negara yang menjadi tujuan dalam mengekspor sepatu lokal produksinya yaitu Malaysia, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat.
Berawal dari menggiatkan pemasaran usahanya melalui e-commerce dan cukup diminati oleh warga lokal, ia pun mencoba belajar untuk menjual produknya ke luar negeri dengan program ekspor di salah satu platform e-commerce.
"Saya tidak menyangka saat itu tiba-tiba permintaannya banyak sehingga terus kami giatkan sampai sekarang. Kami terus mencoba berbagai inovasi dalam pembuatan produk agar bisa semakin diminati oleh pembeli dari negara lainnya," ucap Tresno.
Baca juga: Kisah inspiratif, UMKM warung raup "cuan" setelah gabung platform digital
Berbagai transformasi yang dilakukan oleh UMKM baik melalui digital atau menembus pasar global tentunya akan memperbesar peran sektor tersebut ke dalam perekonomian Tanah Air lantaran UMKM memiliki peran strategis dalam perekonomian domestik.
Indonesia saat ini memiliki 64,2 juta UMKM yang mampu berkontribusi 60,51 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau senilai Rp9.580 triliun.
Tak hanya itu, UMKM turut berkontribusi terhadap penyerapan 97 persen dari total tenaga kerja yang ada dan dapat menghimpun sampai dengan 60,4 persen dari total investasi.
Terhambat pendanaan
Untuk melakukan transformasi yang lebih besar tentunya UMKM membutuhkan biaya, terutama di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung saat ini.
Tresno mengaku terkadang masih mendapatkan kendala di perbankan saat meminjam dana untuk ekspansi usahanya, apalagi semenjak memasuki pasar ekspor permintaan produk sepatu buatannya bisa mencapai 1.000 sampai 2.000 pasang per bulan.
Fakta tersebut diperkuat oleh penelitian platform perbankan cloud Mambu baru-baru ini yang melaporkan lebih dari separuh atau tepatnya 55 persen UMKM di Indonesia terbukti tidak dapat memperoleh pendanaan yang memadai (jika memang ada) pada setidaknya satu atau lebih kesempatan dalam lima tahun terakhir.
Baca juga: Kisah inspiratif, peternak lele hingga pandai besi jatuh bangun hadapi pandemi
Dengan begitu lebih dari separuh, yakni 57 persen UMKM Indonesia terpaksa mengandalkan modal pinjaman dari teman dan keluarga, sedangkan sebanyak 41 persen menggunakan dana pribadi dalam memulai bisnis mereka.
Dari sekian UMKM yang tidak dapat memperoleh dana usaha yang cukup, sebanyak 37 persen mengalami kesulitan arus kas, sebanyak 37 persen tidak dapat meluncurkan produk atau layanan baru, dan 35 persen kesulitan mengangsur kembali pinjaman kepada kreditur.
Akan tetapi, akses dana usaha ternyata menjadi kendala besar bagi mereka. Hal ini tampaknya terjadi karena industri pinjaman dana usaha tidak mengikuti kemajuan teknologi seperti di bidang-bidang bisnis dan keuangan lainnya.
Jika pemberi pinjaman ingin menarik perhatian pangsa pasar UMKM Indonesia, mereka harus melakukan modernisasi proses pemberian pinjaman dan menerapkan teknologi baru dalam menyediakan solusi pinjaman yang bersifat personal, sederhana, dan mudah diakses.
Dengan layanan pinjaman digital yang lebih baik, proses pengambilan keputusan dan pengurusan pinjaman pun akan menjadi lebih cepat dan bisa langsung cair saat pemilik bisnis, terutama UMKM benar-benar membutuhkannya.
Oleh karena itu, lembaga keuangan harus kreatif dan melakukan terobosan besar dalam mengatasi proses pengajuan pinjaman yang sulit dan berbelit. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa durasi pengajuan pinjaman menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemilik usaha kecil dalam memilih pemberi pinjaman.
Meskipun suku bunga rendah menjadi pertimbangan utama bagi 95 persen UMKM dalam proses pengambilan keputusan, sebanyak 93 persen UMKM juga menghendaki proses pengajuan pinjaman yang cepat dan 86 persen menginginkan jadwal pelunasan yang berjangka waktu lama.
Baca juga: Kisah inspiratif, inovasi pelaku UMKM untuk bertahan di tengah PPKM
Untuk membantu pendanaan UMKM yang sedang kesulitan saat ini, pemerintah menggelontorkan berbagai dukungan pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM), Subsidi Bunga Non-KUR, penjaminan kredit, dan lainnya selama pandemi melanda.
Seluruh bantuan tersebut terdapat dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada pos dukungan UMKM dengan realisasi mencapai Rp121,2 triliun pada tahun 2020 dan sebesar Rp83,19 triliun pada tahun 2021.
Penjaminan kredit diberikan oleh PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) yang telah merealisasikan volume penjaminan KUR sebesar Rp82,62 triliun hingga Mei 2022 atau naik 65 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), dengan jumlah UMKM yang dijamin sebanyak 1,84 juta.
Sementara itu untuk penjaminan Kredit Modal Kerja (KMK) dalam rangka PEN, sejak program tersebut diluncurkan pada Juli 2020 sampai dengan saat ini, Jamkrindo bersama dengan anak usahanya PT Penjaminan Jamkrindo Syariah (Jamsyar) telah mencatatkan penjaminan KMK PEN senilai Rp26,32 triliun.
Baca juga: Kisah inspiratif Eka Pratama, orang Asia pertama jadi kepala chef di Burj Khalifa gedung tertinggi di dunia
Dinamika transformasi UMKM gencarkan penjualan sampai "Go international"
Oleh Agatha Olivia Victoria Selasa, 21 Juni 2022 10:20 WIB