Jakarta (ANTARA) - Ada yang berbeda di Kawasan Pusat Jajan Graha Raya Bintaro, Tangerang, Banten, malam itu. Lingkungan yang biasanya meriah dan ramai dengan dagangan tukang martabak, cilok, dimsum, siomay, hingga gulali itu, kini sepi, lengang, dan gelap gulita.
Rupanya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat pengelola setempat mematikan lampu jalanan agar tak seorangpun berjualan di kawasan itu melewati pukul delapan malam. Fenomena melonjaknya varian delta yang melanda Indonesia sejak awal Maret 2021, membuat pelaku UMKM kembali menjerit. Pergerakan dagang yang semakin sempit memaksa mereka memutar otak untuk bertahan di situasi sulit.
Salah seorang pelaku UMKM kuliner asal Tangerang Nenden Pratiwi, merasakan betul bagaimana PPKM mempengaruhi penjualan gerobak kuliner miliknya yang bernama Dapur Mamayon. Menu andalan Dapur Mamayon adalah ceker mercon dan cumi bakar. Biasanya, omzet penjualan ceker mercon dan cumi bakar mencapai Rp600.000 per hari, yang hasilnya dibagi untuk membeli kembali bahan baku, membayar gaji karyawan, serta biaya operasional.
Namun, sejak PPKM diberlakukan, pendapatan Dapur Mamayon dari penjualan kedua kudapan itu hanya mencapai Rp150.000 per hari. Nenden akhirnya memutuskan untuk berhenti menjual salah satu produk andalannya itu.
Baca juga: Melihat peluang pencapaian syarat relaksasi PPKM, kerja keras di bagian hulu sampai hilir
Namun, Nenden tak patah arang. Sejak awal mendirikan usaha, Nenden terus berinovasi untuk menciptakan produk-produk lain, salah satunya yaitu produk susu jahe merah, di mana sebelum pandemi COVID-19 melanda, produk susu jahe merah Dapur Mamayon dijajakan dengan 10 gerobak yang tersebar di beberapa lokasi di Tangerang.
Semakin lama pandemi terjadi, gerobak susu jahe merah semakin sedikit yang beroperasi. Hingga akhirnya menjelang PPKM, hanya tinggal dua gerobak di dua titik yang masih berjualan. Tak disangka, penjualan susu jahe merah di masa PPKM justru melejit, terlebih ketika Tangerang kembali masuk zona merah COVID-19.
Menurut perempuan 39 tahun itu, permintaan produk rempah justru sedang bagus-bagusnya. Jadilah Nenden kembali mengoperasikan lima gerobak lainnya, sehingga saat ini terdapat tujuh gerobak susu jahe merah yang mendatangkan cuan di tengah kesulitan bidang usaha ceker mercon dan cumi bakar. Diversifikasi produk menjadi salah satu andalan ibu dari tiga orang anak itu untuk mampu bertahan di tengah situasi yang penuh dengan keterbatasan. Jika satu produk tengah mengalami penurunan penjualan, maka produk yang lain bisa mendongkrak pendapatan.
Selain itu, Nenden juga mengedepankan promosi dan marketing melalui berbagai platform digital, seperti media sosial Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Ia kerap membagikan foto produk dagangannya untuk menarik para calon pembeli.
Baca juga: Merentang jalan ke Jepang, kisah ANTARA meliput Olimpiade di saat pandemi
Kendati demikian, Nenden berharap agar situasi semakin membaik dengan menurunnya jumlah kasus COVID-19 di Indonesia. Dengan demikian, PPKM tak lagi diberlakukan dan Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.
Putar otak yang dilakukan pelaku usaha kuliner seperti Nenden, juga dilakukan pelaku usaha tekstil bernama Okativa D Pratiwi. Hendjico Production. Usaha tekstil yang dijalankan Okta, sapaan akrab Okativa D Pratiwi, terpaksa harus mengubah model bisnis miliknya sejak PPKM mulai diberlakukan.
Biasanya, Hendjico mengerjakan pesanan seragam sekolah, atau seragam untuk buruh pabrik. Untuk itu, Okta sendiri yang mencari bahan, membuat pola, hingga menjahit sampai produk tersebut siap dikirim dan digunakan. Menurut Okta, PPKM membuatnya kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kain yang dibutuhkan dari distributor kain terbesar yang ada di Jakarta dan Bandung, di mana kebanyakan dari mereka menutup toko dan mengurangi pesanan.
Untuk itu, Hendjico saat ini menerima jasa jahit untuk mereka yang ingin membuka usaha fesyen. Dengan demikian, bahan baku kain dikirim dari konsumen, sementara Hendjico hanya membuat pola dan menjahitnya.
Baca juga: Meraih berkah Idul Adha 1442 Hijriah dengan tetap di rumah saja
Model bisnis yang sebelumnya tak dilakukan Okta itu, kini menjadi 60 persen dari pemasukan usahanya. Okta legowo menjalankan model bisnis barunya itu, meskipun ia harus kehilangan banyak keuntungan dari membeli bahan sendiri. Dengan demikian, Hendjico masih dapat bertahan dan hidup hingga tidak perlu mengurangi jumlah pekerjanya.
Perempuan 29 tahun itu pun gencar melakukan lobi dan pendekatan ke perusahaan-perusahaan yang masih diperbolehkan beroperasi di tengah PPKM Darurat. Ia juga menggenjot promosi lewat media sosial dan pasar daring. Hal tersebut dilakukan agar Hendjico semakin dikenal masyarakat luas di seluruh Indonesia. Hal tersebut terbukti efektif, karena mayoritas pesanan datang dari luar Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Konsumen di Kalimantan biasanya mengirim bahan lewat kargo untuk kemudian dijahit dan hasilnya dikirim kembali dengan cara yang sama.
Pasalnya, ongkos jahit di Tangerang terbilang jauh lebih murah ketimbang di luar Kalimantan. Hal itu yang membuat konsumen dari luar Jawa berdatangan meminta Hendjico mengerjakan pesanannya. Selain semakin menempa mental berbisnisnya, sebagai pemilik, Okta juga semakin mengasah kemampuan usahanya di situasi yang serba terbatas ini. Okta berharap, pandemi segera berlalu, sehingga para pelaku usaha, khususnya UMKM dapat kembali memiliki ruang gerak luas untuk mencari rezeki.
Dapur Mamayon dan Hendjico menjadi contoh UMKM yang dapat terus berdiri di tengah PPKM. Tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah, dengan kemauan keras dan inovasi, dua UMKM itu terbukti mampu mengandalkan kemampuan diri untuk terus berjalan hingga suatu hari dapat berlari kembali.
Baca juga: Kisah inspiratif, dari usaha rumahan Maspion jadi produk lokal se-Indonesia
Baca juga: Kisah inspiratif, perjuangan pedagang sayur dan jamu keliling luluskan anak jadi sarjana