Ambon (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon melanjutkan sidang kasus gugatan SK Rektor No 92 tentang pembekuan LPM Lintas, Senin (17/10). Sidang yang dipimpin oleh I Gede Eka Putra Suartana menghadirkan tiga orang ahli dari pihak penggugat.
Ahli pers Imam Wahyudi menyatakan majalah yang diterbitkan pers mahasiswa Lintas di Institut Agama Islam Negeri Ambon tentang kasus kekerasan seksual sebagai karya jurnalistik. Pernyataan ahli dari Dewan Pers itu disampaikan saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli di bidang pers.
Dalam kesaksiannya, Imam mengatakan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers mengatur terkait 2 hal, pertama Konten dan Perusahaan pers. Untuk konteks pers, mahasiswa mengatur terkait konten yang dihasilkan pers mahasiswa yang merupakan karya jurnalistik sepanjang ia mengikuti kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Perusahaan pers adalah perusahaan yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Sementara aspek konten adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, memiliki dan menyampaikan informasi berdasarkan kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik.
Baca juga: LPM Lintas IAIN Ambon terima penghargaan dari AJI Indonesia
Sementara pers mahasiswa dalam pandangan konten, dinyatakan sebagai konten jurnalistik apabila ia mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik.
"Seandainya konten pers mahasiswa sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mengikuti kode etik jurnalistik, maka sebagai konten ia memenuhi karya jurnalistik," ujar Imam.
Dengan begitu Imam mengakui setiap konten jurnalistik harus mendapat perlindungan oleh Dewan Pers. Saat ditanya terkait jurnalis tidak membuka identitas korban kekerasan seksual dalam pemberitaan media kampus, Imam, yang juga mantan anggota Dewan Pers menjelaskan, jurnalis diwajibkan tidak membocorkan identitas korban karena sudah diatur dalam kode etik. Bagi Imam, melindungi identitas korban kekerasan seksual merupakan aturan paling keras yang diatur dalam dunia jurnalistik. Apalagi korban sebelumnya sudah menyampaikan tidak mengungkap jati dirinya.
Sejumlah pejabat di IAIN Ambon Pada 16 Maret 2022 lalu memanggil awak redaksi Lintas mereka didesak supaya identitas korban perundungan seksual diserahkan ke pihak kampus. Namun Lintas menolak menyerahkan data yang memuat identitas lengkap korban kekerasan seksual dengan alasan memberikan data korban merupakan pelanggaran kode etik.
Jawaban jurnalis Lintas itu diikuti dengan ancaman pembekuan unit kegiatan pers mahasiswa tersebut oleh pejabat kampus.
"Apa pun risikonya jurnalis tidak boleh membuka identitas korban. Jurnalis boleh membuka seandainya kasus itu dibawa ke pengadilan dan hakim memerintahkan untuk dibuka. Namun jurnalis memiliki pilihan untuk membuka atau tidak membuka," kata Imam.
Menurut Imam, ketika jurnalis memutuskan tidak membuka data korban, maka ia sudah siap menanggung sebuah konsekuensi di pengadilan. Risiko yang dimaksud adalah jurnalis siap dipenjara demi mempertahankan kredibilitasnya melindungi identitas korban kekerasan seksual di depan pengadilan.
Kuasa hukum LPM Lintas, Ahmad Fathanah Haris, mengatakan pers mahasiswa harus mendapat perlindungan Dewan Pers karena berpatokan pada produk jurnalistik bukan pada organisasi. Sehingga dengan adanya keputusan Rektor IAIN Ambon menonaktifkan LPM Lintas menjadi fakta bahwa kampus tidak ramah terhadap kebebasan pers serta dalam fakta persidangan pula terdapat adanya cacat prosedul dan cacat subtansi.
"Salah satunya, karena ada bentuk pembekuan dengan alasan-alasan tidak rasional. Padahal teman-teman Lintas melakukan kerja-kerja jurnalistik yang mengungkap fakta bahwa ada kasus di tubuh IAIN Ambon," kata Ahmad.
Dari keterangan saksi ahli di hadapan majelis hakim, pihak tergugat membenarkan hasil liputan Lintas sebagai karya jurnalistik karena memenuhi aspek produk jurnalistik. Di mana semua proses pencarian hingga penerbitan karya jurnalistik harus dilindungi undang-undang Pers.
Baca juga: AJI Indonesia LBH Pers KIKA kirim surat terbuka ke Rektor IAIN Ambon, jangan kekang kebebasan pers
Tak hanya ahli pers dari Dewan Pers, Lintas juga menghadirkan dua saksi ahli lain Diantaranya, Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Franky Butar Butar, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Dalam keterangannya, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Frangky Butar Butar mengatakan, proses penerbitan surat pembekuan LPM Lintas oleh Rektor IAIN Ambon mesti memenuhi unsur dari aspek kewenangan, procedural dan Substansi. Ketiga aspek tersebut bersifat kumulatif jika ada salah satu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka SK tersebut batal demi hukum.
Rektor menurunkan surat penutupan Lintas itu dengan alasan pers mahasiswa Lintas melanggar visi dan misi IAIN Ambon. Surat bredel diteken pada 17 Maret lalu. Sebelum keputusan membredel Lintas, dua awak Lintas dianiaya di sekretariat.
Kasus pemukulan ini dilaporkan ke Kepolisian Sektor Sirimau, Kota Ambon. Selain itu, sembilan anggota pers mahasiswa yang tergabung dalam tim liputan khusus dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Maluku. Dimana hal tersebut dalam keterangan Ahli HAM, Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan pelaporan ke kepolisian merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berakademik yang dijamin dalam Pasal 13 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. (Rls)
Baca juga: LBH Pers desak Rektor cabut SK pembekuan LPM Lintas Ambon, begini penjelasannya