Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nur Nadlifah mengatakan program percepatan penurunan stunting di Indonesia harus dilakukan secara konsisten dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat agar bisa menurunkan prevalensi stunting nasional sampai satu digit.
“Harus bisa satu digit, tidak boleh dua digit. Indonesia itu kepulauan, masyarakatnya luas, kalau 0 persen jalannya masih jauh, tetapi kalau Tuhan sudah menghendaki, ya bisa saja. Intinya, kita harus bisa mencapai satu digit,” kata Nur dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, permasalahan stunting harus segera dituntaskan dan perlu kerja sama semua pihak, mengingat penyelesaiannya tidak sederhana karena menyangkut pola pikir, pola asuh, dan kebiasaan masyarakat.
"Kalau ditanya komitmen, begitu saya dilantik di DPR RI, yang saya ambil adalah komisi IX karena di situ menangani kesehatan masyarakat, ibu dan anak, juga kependudukan yang di dalamnya ada stunting," ujar dia.
Baca juga: BKKBN Malut: Harganas perkuat peran keluarga turunkan prevalensi stunting
Baca juga: BKKBN Malut: Harganas perkuat peran keluarga turunkan prevalensi stunting
Ia mengisahkan perjalanannya di Jawa Tengah untuk menurunkan prevalensi stunting. Menurutnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, menjadi barometer pembangunan serta perilaku, sehingga jika tiga provinsi itu angka stunting masih tinggi, maka indikator keberhasilan peningkatan kualitas dan pembangunan manusia di Indonesia masih rendah.
“Jawa memang harus digempur, tentunya dengan tidak meninggalkan daerah-daerah lain, tetapi karena Jawa jumlah penduduknya paling tinggi, penanganannya juga harus serius,” tuturnya.
Komitmennya tersebut kemudian terwujud ke dalam program penurunan stunting yang ia gerakkan bersama masyarakat, seperti yang ia lakukan bersama kader Fatayat dan Muslimat NU.
“Seperti dapil (daerah pemilihan) saya di Tegal, Brebes, itu teman teman Fatayat membuat Program Sahabat Asuh. Jadi dalam program ini, para kader kesehatan mendampingi keluarga yang berpotensi stunting, baik kepada remaja sebelum menikah, yang sedang hamil, juga yang setelah lahir,” ucapnya.
Selain itu, lanjutnya, kader juga mendampingi masa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan masa pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), sehingga masa eksklusif ASI selama 6 bulan bisa dilakukan ibu dengan benar dan mereka dipastikan mengkonsumsi makanan bergizi untuk ASI yang berkualitas.
Baca juga: Menko PMK minta pemerintah daerah perkuat intervensi spesifik pencegahan stunting
“Tak hanya di ASI dan MPASI, kalau kebetulan di keluarga ini ada kesulitan ekonomi, maka kader kita yang suplai makanan,” paparnya.
Sedangkan di Kota Brebes, Gerakan Sadar Gizi atau Gersagi menjadi salah satu inovasi yang dilakukan Nur bersama masyarakat untuk mengentaskan stunting.
“Sebetulnya prinsip kerja Gersagi ini sama, hanya namanya saja yang berbeda. Soal nama ini memang tidak kita seragamkan, karena kita beri ruang kepada masyarakat untuk berkreasi membentuk gerakan sendiri,” katanya.
Ia menegaskan ada banyak faktor di balik pemberian makanan yang benar karena berpengaruh terhadap pembentukan tumbuh kembang anak, sehingga masyarakat harus mulai membenahi pola pikir terhadap kesehatan dan nutrisi yang benar.
"Jadi, tidak bisa hanya ditangani dari satu sisi, harus keseluruhan,” ucapnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: DPR RI: Prevalensi stunting Indonesia harus bisa capai satu digit