Ambon (Antara Maluku) - Tujuh oknum koordinator pengungsi gadungan yang melakukan penipuan dengan dalil mendapatkan dana di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) telah dipolisikan oleh Tim Verifikasi Data Lapangan Pengungsi Maluku.
Sekda Maluku Ros Far-Far di Ambon, Jumat malam mengatakan, tujuh oknum tersebut dipolisikan karena memungut dana dari masyarakat di SBB dengan berdalil pengurus Koalisi Pengungsi Maluku (KPM) maupun Komnas HAM.
"Jadi praktiknya meminta uang berkisar Rp100-Rp150 ribu dari 200 kepala keluarga (kk) di empat daerah di SBB sebagaimana temuan tim saat verifikasi pada 20-25 April 2012," ujarnya.
Sekda yang didampingi Ketua KPM Pieter Pattiwalapia dan Ketua Komnas HAM Maluku Emmy Tahaparry menegaskan, tujuh orang tersebut telah dilaporkan ke Polda Maluku pada 31 Mei 2012. Ketujuhnya teridentifikasi YK, ML, AR, LM, SK, MS dan R.
"Saya juga telah menyampaikan praktik tersebut kepada Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) Maluku agar mendukung pengungkapan kasus tersebut sehingga masyarakat lain tidak menjadi korban dari ulah mereka yang tidak bertanggung jawab pada Jumat (1/6) petang," katanya.
Sekda mengharapkan Polda Maluku segera memproses laporan tersebut dengan menangkap tujuh oknum tersebut agar membuat jera lainnya yang kemungkinan berpraktik di kabupaten maupun kota lain.
"Tangkap dan proses hukum, selanjutya menghukum dengan vonis bera agar jera karena melakukan pencemaran nama baik dari dua institusi tersebut," katanya.
Ketua komnas HAM Maluku, Emmy Tahapary menegaskan, telah mengantar dua saksi yang merupakan korban dari tujuh oknum tersebut untuk memberikan keterangan di Polda Maluku.
"Kami pun siap melaporkan ketujuh oknum tersebut dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dari Komnas HAM," ujarnya.
Tujuh oknum tersebut dilaporkan masyarakat di Dusun Wael, Dusun Wailesal, Dusun Kramat Jati dan Desa Kairatu.
"Mereka ini beralamat Kota Ambon dan melakukan praktek di SBB dengan memberikan jaminan hak-hak pengungsi berupa bahan bangunan rumah, uang pemulangan maupun tukang akan diperjuangkan disalurkan Pemprov Maluku dalam waktu dekat," kata Emmy Tahapary.
Sedangkan Ketua KPM Pieter Pattiwalapia mengisyaratkan praktik tersebut dilakukan juga di Kota Ambon dengan tawaran hingga Rp300 ribu per orang.
"Saya khawatir praktik tersebut juga dilakukan di kabupaten Buru dan Maluku Tengah yang merupakan sasaran tim melakukan verifikasi karena pengungsi melaporkan indikasi di Kota Ambon," ujarnya.
Staf Dinas Sosial Maluku Johanis Sipahelut mengatakan, hasil verifikasi tim menunjukan ada masyarakat yang benar-benar korban konflik sosial pada 1999 yang belum kebagian hak-hak mereka.
"Jumlah pastinya itu nanti setelah direkapitulasi setelah tim bekerja juga di Kota Ambon, Buru dan Maluku Tengah yang dijadwalkan rampung pada akhir Juni 2012," katanya.
Dia memastikan, sebenarnya pengungsi korban konflik sosial pada 1999 telah tertangani berdasarkan kesepakatan Pemprov Maluku dan pemerintah pusat pada 2009.
Hanya saja, Bupati maupun Wali Kota mengatakan masih ada 12.800 kk pengungsi belum kebagian hak - hak, selanjutnya diaudit tinggal 8.183 kk pada 2009 dan terakhir 3.897 kk.
"Kami harapkan hasil verifikasi akan menjawab jumlah pengungsi sebenarnya yang belum kebagian hak hak mereka, menyusul 3.897 kk itu karena ada sebagian diantaranya tidak memenuhi persyaratan administrasi yang ditentukan," ujar Johanis Sipahelut.