Ambon (ANTARA) - Guru besar bidang Teknologi Perikanan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Maluku Prof Freddy Pattipeilohy mengemukakan keterjangkauan harga bahan bakar minyak (BBM) jadi kunci meningkatkan penjualan produk hasil perikanan Maluku.
"Ketersediaan bahan bakar dengan harga yang terjangkau, dan penyediaan rumpun (pengumpul gerombolan ikan di daerah penangkapan) yang cukup di kawasan-kawasan Gugus Pulau yang ada di Maluku meningkatkan penjualan produk hasil perikanan," katanya di Ambon, Rabu.
Pasalnya kata dia komersialisasi produk hasil perikanan yang berkelanjutan sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana produksi di tingkat pengguna/produsen.
Oleh sebab itu, kata dia kualitas produk harus ditingkatkan karena menentukan penjualan. Disini peran inovasi teknologi, mengarah ke hilirisasi dan bermuara di komersialisasi.
"Komersialisasi produk hasil perikanan sudah saatnya dilakukan karena dapat meningkatkan nilai jual produk yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan," ujarnya.
Selanjutnya, kata dia penting untuk dilakukan sosialisasi hilirisasi inovasi produk perikanan di kawasan gugus pulau III Wahai dengan menggunakan bahan baku pengawet alami yang bisa didapatkan dari Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Teluk Ambon dan Kecamatan Saparua Timur.
Untuk itu katanya, diperlukan sinergisitas dengan pemangku kepentingan dalam rangka pembudidayaan tanaman atung sebagai bahan pengawet alami di pusat produksi hasil perikanan di semua kawasan gugus pulau di Maluku," tuturnya.
"Pada gilirannya komersialisasi produk hasil perikanan dapat menunjang kegiatan kaji tindak bila Provinsi Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan mendukung pengembangan ekonomi biru atau blue economic," katanya.
Ia menemukan kondisi yang terjadi di Maluku yakni UKM Nelayan Tonda Tuna Pantai Utara Seram sejak 2010 memproduksi tuna loin kotor masih dengan kulit dan sedikit duri dan tulang dari ikan tuna yang beratnya kurang dari 30 kilogram dan ikan asin dari tuna yang kurang 30 kilogram dan ikan cakalang dengan berat rata-rata 3,5 kilogram.
"Permasalahan klasik yang selalu mendera adalah posisi tawar yang rendah terhadap para pengumpul tuna loin maupun produk olahan karena kuantitas dan kualitas produk yang masih rendah karena ketersediaan es sebagai pengawet yang terbatas bahkan tidak sama sekali," kata dia.
Ia melanjutkan kondisi ini diperparah lagi dengan praktik penyewaan rumpon dan ketersediaan bahan bakar yang terbatas dan harga yang tinggi, lebih tinggi dari patokan harga industri berkisar dari Rp350.000 – Rp650.000 untuk sekali melaut.