Jakarta (ANTARA) - Langkah Kejaksaan Agung RI menetapkan nilai kerugian negara senilai Rp300 triliun dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 dipertanyakan oleh pihak kuasa hukum tersangka.
Andi Inovi, selaku kuasa hukum CV Venus Inti Perkasa (VIP) di Jakarta, Kamis, mengatakan penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LKH) Nomor 7 tahun 2014 untuk menghitung kerugian negara riil dari perkara korupsi timah sebagai kekeliruan besar. Karena, hasil perhitungan nilai Rp271 triliun (perhitungan awal) merupakan kerugian ekologis dari kerusakan lingkungan. Sementara pasal yang digunakan menjerat tersangka menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Padahal angka itu belakang berulang kali ditegaskan adalah kerugian ekologis, yang dipakai adalah peraturan Menteri Lingkungan Hidup, tapi untuk tindak pidana korupsi ini sudah salah kamar,” kata Andy.
Diketahui 4 dari 21 tersangka korupsi timah, merupakan pejabat di CV VIP, yakni Tamron Tamsil alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik manfaat dari CV VIP; Hasan Tjhie (HT) alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP; Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP; dan Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP.
Andy menyebut, dengan melambungnya angka kerugian negara yang salah ambil dari penerapan pasal, ini membuat opini publik berasumsi para tersangka layaknya penjahat kakap lantaran melakukan tindakan pidana.
Menurut dia, sebelum angka kerugian negara hasil perhitungan BPKP diumumkan pada 29 Mei, publik menerima informasi angka kerugian sebesar Rp271 triliun akibat kerusakan ekologi. Nilai tersebut, lantas digunakan orang untuk berfantasi uang sebanyak itu digunakan untuk apa saja, sehingga membuat asumsi lalu memvisualisasikan kepada selebgrZam-selebgram tertentu.
“Bahasa sederhana saya seperti ini, bapak pakai aturan dalam FIFA untuk pertandingan tinju, ketika dipukul petinjunya jatuh, malah dikasih kartu merah kan itu yang terjadi," ujar Andy.
Oleh karena itu, Andy mengatakan bahwa penerapan Permen LHK No 7/2014 dalam penindakan kasus korupsi timah, akan menjadi preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia.
“Ke depan atas nama kerusakan lingkungan kalau dipakai perhitungan tersebut, dan bisa dikatakan korupsi dan kemudian dianggap sebagai kerugian negara yang tidak terbatas BUMN, siapapun perusahaan bisa dipidanakan nantinya ke depan," paparnya.
Selain itu, Andy juga menyampaikan penanganan perkara korupsi timah ini membuat para pekerja tambang milik kliennya terpaksa berhenti akibat dari pembekuan rekening perusahaan oleh Kejaksaan Agung.
“Masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai karyawan CV VIP sekarang harus menahan lapar akibat tidak adanya aktivitas perusahaan yang berjalan," kata Andy.
Bukan cuma pekerja tambang CV VIP saja, kata dia, aset perusahaan lain berupa kebun kelapa sawit juga ikut dibekukan, sehingga para pekerja di kebun milik CV VIP pun ikut terkena imbasnya. Kedua perusahaan itu memiliki pekerja sekitar 600 an orang masing-masing.
Lebih lanjut Andy mengatakan, saat ini para pekerja tambang dan kebun kelapa sawit milik kliennya menggantungkan hidup pada keluarga yang bekerja di tambang milik perusahaan lain yang masih beroperasi.
“Anak-anak yang bersekolah menjadi terlantar akibat orang tua mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apakah pemerintah tidak bisa melihat dengan nurani dan memperhitungkan bagaimana nasib masyarakat di Bangka?” kata Andy.
Sebelumnya, Rabu (29/5), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adrianto mengatakan nilai Rp300 triliun merupakan riil sebagai nilai kerugian negara akibat tambang timah ilegal dalam perkara korupsi timah tersebut.
“Angka yang disebut Rp300 triliun, masuk dalam kualifikasi kerugian keuangan negara. Jaksa akan maju ke persidangan, dalam dakwaannya tidak memasukkan kualifikasi perekonomian negara. Rp 300 triliun akan didakwa sebagai kerugian negara,” kata Febrie.
Jika sebelumnya angka kerugian Rp271 triliun diperdebatkan sebagai riil lost atau potensial lost. Kini berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) nilai tersebut akan menjadi alat bukti sebagai kerugian riil yang harus dituntut oleh jaksa sebagai kerugian negara.
Dijelaskan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Agustina Arumsari menjelaskan nilai kerugian Rp300 triliun itu disebabkan oleh kelebihan pembayaran harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp2,85 triliun.
Selanjutnya, kerugian negara juga disebabkan oleh pembayaran biji timah ilegal yang dilakukan PT Timah kepada para mitra dengan total biaya Rp26,649 triliun.
Kemudian, adanya kerusakan lingkungan yang harus dihitung oleh ahli forensik kehutanan IPB Prof Bambang hero Saharjo sebesar Rp271,06 triliun.
Menurut Agustina, nilai kerusakan ekologis dimasukkan sebagai bentuk kerugian keuangan negara dikarenakan berdampak pada penurunan nilai aset lingkungan.
“Karena dalam konteks neraca sumber daya alam dan lingkungan, kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang ilegal merupakan residu yang menurunkan nilai aset lingkungan secara keseluruhan,” kata Agustina.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kuasa hukum pertanyakan penetapan kerugian negara di korupsi timah