Jakarta (ANTARA) - Calon hakim agung Kamar Pidana, Julius Panjaitan, mengatakan keadilan restoratif bukanlah sekadar alternatif pemidanaan, melainkan suatu pendekatan yang relevan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Julius, saat uji kelayakan calon hakim agung bersama Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, meyakini keadilan restoratif dapat memulihkan, mendatangkan rasa aman, dan menyelesaikan konflik di antara para pihak berperkara.
“Maksud alternatif ini berarti hanya pilihan, dalam pengertian kalau perlu baru dilaksanakan, kalau tidak perlu tidak dilaksanakan. Jadi, dalam hal ini, restorative justice ini hendaknya diterapkan dengan konsisten,” kata dia.
Dalam penerapannya, jelas Julius, pendekatan keadilan restoratif akan mempertemukan pelaku, korban, keluarga, serta pihak terkait lainnya seperti tokoh adat dan agama. Para pihak akan berdialog untuk mencapai penyelesaian yang adil.
Pendekatan restoratif berbeda dengan hukum pidana. Menurut dia, penerapan keadilan restoratif merupakan perwujudan budaya masyarakat Indonesia, yakni menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan mufakat.
“Kalau masuk ke ranah pengadilan, itu sudah beda jalurnya nanti: bersalah, dihukum pidana. Tapi, kalau restorative justice, pihak pelaku [dan] pihak korban, sama-sama merasa puas, sama-sama menang istilahnya,” tutur Julius.
Ia juga menjelaskan bahwa keadilan restoratif tidak bisa disalahgunakan. Pendekatan tersebut hanya bisa diterapkan untuk tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun serta kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta atau upah minimum provinsi.
Selain itu, dalam RUU Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur bahwa keadilan restoratif tidak bisa diterapkan pada tindak pidana berat, seperti narkotika, terorisme, penghilangan nyawa, serta tindak pidana tentang keamanan negara, ketertiban umum, dan kesusilaan.
“Sudah ada rambu-rambunya,” kata Julius.
Namun, khusus untuk kasus narkotika, Julius berpandangan bahwa penyalahguna berhak diberikan akses pendekatan keadilan restoratif. Sebab, menurut dia, penyalahguna merupakan korban dari oknum pengedar.
Di samping itu, dia juga menyarankan agar keadilan restoratif diperluas untuk diterapkan pada kasus ujaran kebencian. Menurut dia, kritik yang dinilai mengarah kepada ujaran kebencian bisa didiskusikan terlebih dahulu sebelum berlanjut ke meja hijau.
Di hadapan anggota Komisi III DPR RI, Julius menyampaikan jika terpilih menjadi hakim agung, ia akan mengedepankan keadilan restoratif terhadap perkara upaya hukum yang berpotensi diterapkan pendekatan tersebut.
“Saya akan memotivasi Hakim-Hakim di tingkat pertama untuk memprioritaskan penerapan keadilan restoratif. Karena, sekali lagi, bagi saya, itu sangat bermanfaat untuk seperti yang tujuan pemidanaan itu: memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman, memulihkan keadaan, mendatangkan rasa damai, dan mengurangi potensi balas dendam,” ucapnya.
Diketahui Komisi III DPR RI menggelar uji kelayakan dan kepatutan untuk 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia di Mahkamah Agung yang sebelumnya telah diseleksi oleh Komisi Yudisial.
Uji kelayakan dan kepatutan dimulai pada Selasa (9/9), dilanjutkan pada Rabu (10/9) dan Kamis ini, kemudian disambung pada Selasa (16/9) depan. Pada hari terakhir, akan dilaksanakan pula rapat pleno Komisi III DPR RI untuk penetapan calon terpilih.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Calon hakim agung: Keadilan restoratif bukan sekadar alternatif
