Jakarta (ANTARA) - Indonesia diyakini tidak terpengaruh secara signifikan dampak perang dagang yang bisa mengganggu ekspor dan investasi sehingga pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan masih bisa tumbuh 5,1 persen untuk 2019 dan 2020, kata Kepala Ekonom ASEAN+3 Macroeconomy Research Office (AMRO) Dr. Hoe Ee Khor.
"Kami belum mengubah proyeksi pertumbuhan kami terhadap Indonesia. Sebab utamanya, Indonesia tidak terlalu terpengaruh dampak negatif dari perang dagang," kata Hoe Ee Khor dalam paparan langsung terhadap media di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, dampak perang dagang tidak terlalu mempengaruhi Indonesia karena industri di Indonesia belum terlibat sepenuhnya dalam rantai pasok global manufaktur khususnya sektor elektronik.
"Maka itu kami masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan bagi Indonesia," ujar dia.
Meski demikian, bagi kawasan, AMRO menilai perang dagang menjadi sumber utama risiko eksternal yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Adapun AMRO merupakan lembaga kajian ekonomi untuk ASEAN plus Jepang, China dan Korea Selatan (ASEAN+3).
Di Juni 2019 ini, ketika proyeksi pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia tidak berubah, AMRO memangkas proyeksi pertumbuhan bagi kawasan dan negara-negara kawasan.
Pertumbuhan ekonomi di keseluruhan kawasan atau ASEAN+3 diperkirakan hanya akan tumbuh 4,9 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi China, Jepang, dan Korea Selatan masing-masing terkoreksi menjadi 6,2 persen, 0,5 persen dan 2,4 persen.
"Ketidakpastian perdagangan masih tetap tinggi, dan risiko ketegangan perdagangan masih tetap diperhitungkan meskipun negosiasi perdagangan AS dan China dikabarkan mengalami kemajuan," ujarnya.
Khor lebih jauh menyarankan agar pemerintah dan otoritas di kawasan mengkalibrasi berbagai bauran kebijakan sesuai dengan siklus ekspansi bisnis dan pembiayaan. Selain itu, parameter eksternal dan kerentanan keuangan, seperti Neraca Pembayaran juga mesti diawasi.
Khor menyebut kalibrasi kebijakan itu termasuk mempertimbangkan penurunan kebijakan moneter jika diperlukan. Pemerintah setempat di kawasan juga perlu mempertahankan kebijakan fiskal yang cenderung akomodatif dengan tetap menjaga ketahanan fiskal.
"Kebijakan makroprudensial yang ketat juga perlu dipertahankan untuk mengatisipasi peningkatan kerentanan finansial," tambahnya.
Terlepas dari penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kawasan, Khor menilai dalam jangka panjang fundamental ekonomi di memiliki ruang untuk menguat dan solid.
Pasalnya, konsumsi masyarakat yang kuat dan perdagangan intra-kawasan yang meningkat karena pertumbuhan masyarakat kelas menengah, urbanisasi yang cepat, serta masifnya penerapan teknologi digital.
"Dengan demikian, prioritas kebijakan jangka panjang, seperti pengembangan kapasitas dan konektivitas produktif serta pendalaman pasar modal domestik perlu terus ditekankan," ujarnya.