Ambon (ANTARA) - Aksi bom bunuh diri sepasang suami-isteri pada salah satu tempat ibadah di Kota Makassar, Sulsel pada Minggu (28/3) memang cukup mengejutkan.
Dalam situasi kamtibmas yang kondusif secara nasional, masih saja ada aksi-aksi sekelompok orang berhaluan radikal melakukan tindakan nekad menghabisi diri sendiri dengan target mencederai, bahkan ingin membunuh orang lain.
Peristiwa nekad seperti ini menggambarkan masih ada kelompok-kelompok kecil tertentu di masyarakat yang anti-Pancasila serta intoleran dan selalu menyusun agenda melakukan tindakan radikal serta teror.
Ketua Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme Maluku, Abdul Rauf menyebutkan, paham radikalisme seperti gunung berapi, di mana tidak ada yang mengetahui pasti kapan gunung itu akan meletus, kecuali mereka-mereka yang merancang kejahatan tersebut.
"Saat ini mereka yang terpapar paham radikal kian bertambah, dan hingga saat ini ada empat belas warga Maluku yang terindikasi ekstrim memiliki pemahaman sangat berbahaya," ungkap Rauf dalam sebuah dialog publik bertajuk paham radikalisme dan anti-Pancasila terhadap stabilitas keamanan di wilayah Maluku.
Pada Rabu (24/6) 2020, Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri membawa sejumlah terduga teroris melalui Bandara Internasional Pattimura Ambon menuju Jakarta.
Kapolda Maluku saat itu, Irjen Pol Baharudin Jafar menegaskan bahwa bukan kapasitas dirinya untuk menyampaikan informasi tersebut, tetapi dia membenarkan kegiatan seperti itu memang ada.
Rombongan Densus 88 Antiteror Mabes Polri saat itu menggunakan pesawat carter Lion Air JT-388/JT358 rute Ambon-Lombok-Jakarta.
Keberangkatan Densus 88 membawa 11 orang yang diduga anggota Jamaah Ansor Daullah dan sejumlah barang bukti yang dibawa adalah tiga pucuk senjata rakitan laras panjang serta dua busur panah.
Mereka juga diduga berafiliasi dengan organisasi ISIS yang ditangkap Densus 88 pada beberapa lokasi dan waktu berbeda di kabupaten dan kota di Maluku, dan sempat dititipkan pada ruang sel tahanan Mako Brimob Polda Maluku.
Menurut Rauf, untuk menangani permasalahan tersebut maka pengawasan bukan saja dilakukan aparat, tapi oleh seluruh elemen masyarakat di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
Dia mengibaratkan mereka yang menyebar paham radikal seperti bunglon, dan apa saja akan dilakukan adalah untuk mencapai tujuannya.
"Jangan biarkan mereka yang terindikasi terpapar paham radikalisme ini sendiri, tetapi rangkul dan ajak mereka dalam hal yang positif, gandeng tokoh agama sebagai pemberi pencerahan kepada mereka sehingga mereka dapat memahami ajaran agama yang sebenarnya," tutur-nya.
FPKT Maluku saat ini sudah menjalankan program deradikalisasi yang menyentuh ke semua lapisan masyarakat, khususnya anak muda dan pelajar.
Setiap tahunnya sudah ratusan orang yang meninggalkan paham radikal, mereka ini adalah yang sudah memahami benar bahaya dari paham radikal yang mereka ikuti dan dengan sukarela dan sadar mereka kembali kepada kondisi semula sebagai warga negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan NKRI.
Kabid Humas Polda Maluku KOmbes M. Roem Ohoirat mengakui kalau radikalisme merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan, termasuk di wilayah Maluku.
"Jadi tugas kita adalah bagaimana membina mereka yang memiliki paham radikalisme ini dengan berkoordinasi lewat instansi fungsi terkait," ujarnya.
Mereka yang terpapar paham radikalisme disebabkan karena pemahaman agama yang sempit.
Mereka ini dimasuki paham sesat yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan politik dan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Orang yang diketahui terpapar paham sesat seperti ini semestinya jangan dijauhi, sebab bila dibiarkan sendiri tanpa ada kesibukan yang positif maka mereka akan mengembangkan paham radikal tersebut sehingga akan menular kepada masyarakat lainnya secara diam-diam.
Selain paham radikalisme saat ini yang sangat dikhawatirkan juga adalah penyebaran berita hoaks.
Hoaks yang marak beredar di media sosial juga sangat mengkhawatirkan, sehingga Polda Maluku saat ini telah memiliki unit khusus yang tugasnya mengawasi dan memonitor setiap aktivitas akun media sosial.
"Jika ditemukan ada yang mempublikasikan atau menyebar berita atau informasi hoaks maka akan langsung dilakukan penindakan terhadap si pemilik akun tersebut," ucap-nya menegaskan.
Lebih lanjut dikatakan, masalah terorisme tidak terlepas dari persoalan politik. Sebelum terjadinya konflik sosial, kehidupan orang Maluku sangat baik dan ramah dimana semua masyarakat hidup dalam keadaan damai.
"Namun setelah terjadi konflik sosial pada tahun 1999 lalu, kehidupan masyarakat Maluku saat ini menjadi berubah dengan drastis. Olehnya itu pentingnya saat ini kita perlu mengubahpola pikir pemahaman masyarakat Maluku dalam membangun kehidupan orang basudara," tutur-nya.
Bertolak belakang
Ketua Majelis Ulama Indonesia Maluku Dr. Abdullah Latuapo mengakui hingga kini masih terdapat kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat yang menganut paham bertolak belakang dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Untuk mengatasi persoalan seperti ini, perlu untuk mendekati mereka memberikan pemahaman yang baik sebagai warga negara Indonesia.
"Tugas saat ini adalah bagaimana kita berupaya mendekati mereka dengan memberikan pemahaman bahwa saat ini mereka hidup di dalam Negara Republik Indonesia," ucap Latuapo.
Sebagai warga Indonesia, ia mengaku Pancasila merupakan dasar negara yang harus dijunjung tinggi dan ditaati.
"Jika dilihat dari pandangan Islam maka Pancasila merupakan suatu pilar atau lambang negara dan sarana pemersatu kita umat manusia di Indonesia," ungkapnya.
Saat ini, MUI berperan bukan saja sebagai pemberi pembinaan kepada masyarakat terkait pemahaman agama yang baik, namun juga berfungsi mengawasi dan ikut dalam penyelesaian masalah di tengah umat.
"Kita semua pasti memiliki keinginan untuk menjadikan Maluku yang aman dan nyaman. Olehnya itu dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk Maluku yang damai".
Wakil Sekretaris Umum Sinode GPM Pendeta Rudy Rahabeat meminta agar persoalan radikalisme harus disikapi secara positif. Ia mengaku semua agama memiliki potensi radikalisme, tapi yang bersifat positif.
"Kita tidak bisa pungkiri bahwa di semua agama memiliki potensi radikalisme, namun dalam hal ini radikalisme yang bersifat positif adalah radikalisme dalam beragama bukan dalam melakukan aksi ekstrim dan kekerasan terhadap manusia atau fasilitas yang bertolak-belakang dengan paham tersebut," tutur dia.
Rahabeat mengatakan, saat ini GPM telah menjadikan gereja sebagai gereja orang basudara, gereja pela gandong anak Maluku.
Tujuannya adalah untuk membangun kembali suasana kehidupan orang basudara yang mulai renggang dan terkikis oleh kondisi saat ini.
Mereka yang sudah terjerumus jangan dijauhi, justru harus didekati dan dirangkul sehingga kembali "ke jalan yang benar".
Spektrum - Merangkul penganut paham radikalisme
Rabu, 31 Maret 2021 11:04 WIB