Ambon (ANTARA) - Pembangkit listrik tenaga surya memang memberi alternatif pasokan sumber energi ramah lingkungan. Namun, PLTS yang bersumber dari energi baru terbarukan ini juga menyisakan ancaman lingkungan ketika pembangkit ini aus.
Keunggulan PLTS ini, antara lain, dapat menjangkau wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal seperti di Maluku, yang selama ini belum bisa terjangkau pelayanan listrik konvensional. Keberadaan PLTS juga mengantisipasi kian menyusutnya sumber bahan bakar fosil sebagai bahan baku listrik.
Seiring dengan bertambahnya usia PLTS maka bila lama tidak berfungsi lalu dibiarkan terbengkalai maka berpotensi mencemarkan lingkungan serta mengganggu kesehatan manusia karena baterainya mengandung bahan berbahaya dan beracun (B-3).
Klasifikasi dampak bahaya dan risiko pada komponen PLTS berdasarkan daftar limbah B-3 tertuang pada Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 . Klasifikasi limbah dapat diketahui dengan cara memeriksa karakteristiknya.
Karakteristik limbah dapat dilihat, misalnya, dari mudah meledak dan terbakar, bersifat reaktif dan iritasi jika terkena tubuh manusia, beracun, serta korosif.
Manajer Program New Zealand-Maluku Access to Renewable Energy Support (NZMATES) Maluku Safitri Yanti Baharuddin menjelaskan panel surya mengandung bahan kimia berbahaya dan setiap sudut panel berbentuk tajam pada bagian tiang atau penopang.
Program tersebut memberi bantuan teknis untuk meningkatkan penyerapan energi terbarukan, andal, dan terjangkau di Provinsi Maluku.
Selain itu pada peralatan itu juga terdapat panel circuit board (PCB) dan bisa menimbulkan bahaya, seperti terlepas dalam bentuk timbal, bisa bocor dari kaca bertimbal bila dibuang ke tanah. Pembakaran atau peleburan juga dapat mengakibatkan pelepasan polutan ke udara dan menjadi debu karbondioksida.
Timah pada papan sirkuit cetak pun dapat terlepas dalam bentuk timbal jika dipanaskan dalam pemisahan komponen atau dalam bentuk partikel halus jika dibakar atau dihancurkan.
Potensi bahaya lain dari limbah PLTS berupa kebakaran atau ledakan. Bahkan jika salah dalam penanganan maka terempas ke udara dan turut mencemari lingkungan. Terbukanya area PLTS sangat mudah dimasuki warga tanpa mereka menyadari bahaya yang bisa mengancam.
Komponen-komponen PLTS juga mengandung senyawa PDBE (polybrominated diphenyl ether) yang berpotensi menimbulkan efek negatif pada makhluk hidup dan juga mengandung merkuri, timbal, lithium, dan zink yang merupakan logam berat yang meracuni dan mencemari lingkungan.
Untuk mencegah pencemaran dari limbah PLTS, organisasi tersebut telah mengembangkan suatu metode guna melakukan penilaian mengenai kemungkinan dampak bahaya serta risiko yang diakibatkan PLTS jika tidak dilakukan penanganan yang tepat.
Analisis kemungkinan dan dampak dibuat dengan menggunakan skor penilaian level 1 – 5, dengan 10 indikator penilaian. Makin tinggi nilai kondisi (kemungkinan dan dampak) yang dihasilkan dari tiap indikator, risiko yang dihasilkan akan lebih besar.
Dari hasil analisis yang dilakukan lembaga itu menunjukkan bahwa baterai menghasilkan nilai pencemaran yang tertinggi dari komponen lainnya. Hal ini menunjukkan risiko mencemari lingkungan pada baterai lebih tinggi.
Jika risiko pencemaran tersebut tidak ditangani dengan baik maka bakal menimbulkan pencemaran lingkungan lebih besar dan membahayakan ekosistem beserta makhluk hidup di dalamnya.
Menyiapkan panduan
Lembaga tersebut saat ini telah menyiapkan panduan khusus yang bisa dijadikan pemerintah daerah sebagai prosedur standar operasi (SOP) dalam menangani aset dan limbah B-3 PLTS, yang telah dibangun sejak tahun 2012 oleh Kementerian ESDM.
Panduan dan SOP tersebuty telah disosialisasikan untuk dijadikan sebagai pegangan oleh pemkab dan pemkot tempat PLTS itu berada, agar PLTS yang sudah rusak tidak dibuang atau ditanam begitu saja.
Ditjen Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM awalnya membangun beberapa PLTS terpusat untuk daerah-daerah kepulauan di wilayah Maluku selama periode tahun 2012 – 2016, namun setelah dioperasikan ada yang sudah rusak.
PLTS yang telah dibangun tersebut sebagian telah diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga kepemilikannya terdaftar sebagai aset daerah.
Ada PLTS yang sudah mengalami kerusakan berat dan tidak dapat difungsikan lagi. Oleh karena itu harus segera dilakukan penanganan agar tidak menimbulkan masalah kerusakan dan pencemaran lingkungan di kemudian hari.
Adapun perusahaan yang menangani limbah PLTS haruslah yang sudah mengantongi sertifikasi dari Kementerian ESDM.
Mengenai hasil asesmen lokasi-lokasi PLTS, itu bukan hanya meliputi yang peralatannya sudah rusak tetapi juga yang masih berpotensi diperbaiki. Berdasarkan hasil studi kelayakan (feasibility study), ada sekitar 100-an unit, sedangkan 17 PLTS yang dibangun sejak 2012 sudah mengalami kerusakan.
Mengingat PLTS ini telah diserahkan ke pemkab dan pemkot -- karena saat itu masih ada Dinas ESDM di daerah tetapi sekarang tidak lagi -- maka wewenang PLTS ini masuk ke berbagai dinas terkait.
Setelah temuan itu, organisasi tersebut membuat panduan penanganannya, sebab PLTS tidak bisa dibiarkan begitu saja mengingat adanya risiko dan masyarakat dengan mudahnya masuk ke area PLTS.
Panduan ini dibuat sebagai pegangan kepada pemkab dan pemkot tempat PLTS itu berada untuk dijadikan prosedur penonaktifan sebuah PLTS yang sudah rusak agar tidak dibuang atau ditanam begitu saja.
Setelah pemkab dan pemkot memperoleh SOP penanganan limbah PLTS, mereka menggunakan panduan tersebut untuk menyusun sistem perencanaan dan penganggaran daerah.
Kepala Bappeda Maluku Anthon Lailosa menegaskan panduan tersebut sangat penting dan strategis baik dalam membantu pemerintah daerah maupun masyarakat untuk mengelola limbah PLTS secara benar dan bertanggung jawab.
Dengan menyadari ancaman beserta risiko limbah PLTS terhadap ekosistem maka masyarakat beserta instansi berwenang bisa mengantisipasi ancaman pencemaran lingkungan sejak dini.
Sumber energi yang berasal dari fosil suatu saat memang bakal habis karena siklusnya butuh ribuan tahun. Oleh karena itu manusia beradaptasi dan berinovasi untuk menjawab ancaman kelangkaan energi fosil tersebut.
Berlimpahnya sinar Matahari sejak zaman dulu menjadi kajian banyak ilmuwan untuk dijadikan salah satu sumber energi alternatif, antara lain, dengan menciptakan PLTS.
Karena PLTS juga harus ditunjang dengan komponen-komponen lain maka ketika usia pakai PLTS sudah selesai, itu menyisakan bahan-bahan yang berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan ekosistem termasuk manusia.
Oleh karena itu, diperlukan berbagai peraturan dari tingkat pusat sampai ke daerah. Tujuannya, agar ada panduan atau SOP dalam mengelola PLTS, baik sebelum, selama beroperasi, hingga ketika usia pakai peralatan itu habis.
Yang dilakukan pemda-pemda sekarang adalah mengatasi limbah PLTS agar tidak menjadi masalah. ***3***Baca juga: Limbah pembakaran Batubara PLTU diolah jadi batako, peluang untuk di Malut
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengatasi limbah PLTS di Maluku agar tak jadi masalah