"Dalam hal ini (kontestasi politik), kesalehan Islam dijadikan alat untuk merayu para aktor politik melakukan komunikasi keislaman mereka," katanya dalam diskusi budaya yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Karman menilai kesalehan dalam beragama seolah-olah menjadi salah satu kewajiban dalam berpolitik di Indonesia, karena situasi politik di negara ini dipengaruhi oleh kompatibilitas sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, sekaligus menjadi salah satu negara demokrasi yang terbesar di dunia.
"Political actor harus melakukan upaya-upaya yang mengakomodir struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar Islam dan juga bagaimana bisa memenangkan kondisi dalam pemilihan umum (pemilu) untuk mendapatkan suara dari para pemilih," ujarnya.
Baca juga: BRIN bersama Komisi VII DPR RI latih pelaku UMKM Ambon kelola hasil perikanan
Baca juga: BRIN bersama Komisi VII DPR RI latih pelaku UMKM Ambon kelola hasil perikanan
"Sehingga, di situlah kemudian muncul upaya-upaya yang dalam bentuk komodifikasi (nilai tukar politik) yang menggunakan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kesalehan," kata Karman.
Artinya, sambung dia, para aktor politik juga perlu menunjukkan kesalehan mereka di depan masyarakat, yang diwujudkan dengan berbagai upaya dalam bentuk ibadah, seperti shalat, berdoa, dan membaca Al-Quran.
Termasuk antara lain, kata dia, bacaan-bacaan yang ada kaitannya dengan keyakinan dalam beragama Islam, seperti yang diucapkan oleh beberapa capres dan cawapres untuk menonjolkan kesalehan mereka dan bukan untuk menunjukkan agama dari aktor politik tersebut.
"Saya memahami itu karena kesalehan di dalam konteks Indonesia itu memiliki daya jual, marketability. Kesalehan itu memiliki daya untuk dijual kepada masyarakat Muslim," ungkap Karman.
Baca juga: BRIN-DPR RI latih 10.200 warga Maluku tingkatkan keterampilanMeski demikian, Karman menyebutkan kesalehan seseorang dalam berpolitik tidak hanya berpengaruh di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara di luar negeri, yang juga melibatkan agama lainnya seperti Katolik dan Protestan.
"Agama itu memiliki daya tarik, sehingga,orang yang melakukan kontestasi merasa perlu untuk menggunakan simbol-simbol keislaman. Bahkan mereka yang tidak menjadi bagian dari agama Islam pun berusaha menonjolkan sisi-sisi atribut-atribut kultural, seperti yang digunakan oleh Muslim," ungkapnya.
"Walaupun mereka (para aktor politik) tidak berharap mendapatkan dukungan politik bagi Muslim, tapi itu mengurangi resistensi atau penolakan dari Muslim terhadap pencalonan mereka," kata Karman.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BRIN: Kesalehan capres-cawapres jadi daya jual dalam berpolitik di RI