Jakarta (ANTARA) - Gelombang keputusan presiden yang mengeluarkan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dalam waktu berdekatan, kembali mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Instrumen prerogatif yang sejatinya dirancang untuk mengoreksi kekeliruan ekstrem negara justru menjadi cermin buram dari problematika kronis penegakan hukum: penyalahgunaan kewenangan penyidik, kualitas dakwaan yang lemah, hingga vonis yang dipaksakan "seolah" demi memenuhi ekspektasi publik.
Ketika kepala negara harus turun tangan berulang kali untuk "memperbaiki" proses yudisial, pertanyaannya bukan lagi apakah Presiden berwenang, melainkan apakah sistem peradilan kita tengah sakit secara struktural?
Di titik ini, amnesti dan abolisi tidak bisa dibaca semata sebagai kebijakan belas kasihan, begitu pula rehabilitasi tidak dapat dipahami hanya sebagai pemulihan nama baik. Ketiganya telah berubah menjadi alarm keras yang menandai ketidakseimbangan antara kewenangan penegak hukum dan pelindungan hak asasi warga negara.
Jika perkara-perkara yang belakangan diperbaiki oleh presiden, ternyata sejak awal tidak layak diproses, maka akar persoalannya bukan pada kebijakan prerogatif itu sendiri, tetapi pada proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan yang gagal menjaga asas due process of law. Negara hukum runtuh, bukan karena presiden menggunakan prerogatifnya, tetapi karena aparat penegak hukum memaksa hukum bekerja di luar relnya.
Kendati demikian, alarm ini bersuara lebih nyaring ketika menyangkut perkara korupsi. Pada ranah yang paling sensitif ini, yang mana opini publik mudah terbakar dan tekanan politik begitu kuat, independensi hakim rentan terdistorsi.
Tak satu pun hakim tindak pidana korupsi (tipikor) berani memutus bebas, tanpa risiko reputasional; jaksa sering menafsirkan kerugian negara sebagai tindak pidana, tanpa membedakan antara kesalahan administrasi dan niat jahat; sementara penyidik cenderung mengedepankan pendekatan represif ketimbang analisis objektif.
Maka, ketika Presiden memberi amnesti atau rehabilitasi, kritik pun muncul bukan karena kewenangannya dipersoalkan, tetapi karena tindakan tersebut memperlihatkan lubang-lubang besar dalam bangunan penegakan hukum kita. Jika tidak dibenahi, hak prerogatif Presiden akan terus menjadi alat tambal sulam, bukan solusi atas retaknya sistem peradilan.
Retaknya prosedur
Beberapa bulan setelah memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong, Presiden Prabowo kembali menggunakan hak prerogatifnya dengan memberikan rehabilitasi bagi mantan Dirut PT ASDP Ira Puspadewi.
Penggunaan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dalam kasus-kasus terakhir memperlihatkan bahwa ada persoalan serius pada tahapan paling awal proses penegakan hukum. Ketika penyelidikan dan penyidikan tidak mampu memilah mana tindakan yang mengandung niat jahat dan mana yang sekadar keputusan administratif yang berujung pada konsekuensi finansial, maka ruang kekeliruan menjadi sangat besar. Aparat yang seharusnya menjadi penjaga gerbang justru gagal menjaga kualitas perkara, sebelum masuk ke meja hijau.
Kelemahan filter ini membuat jaksa kerap melanjutkan dakwaan yang tidak solid, sementara hakim bekerja dengan tekanan kuat dari opini publik antikorupsi. Dalam situasi seperti ini, kesalahan prosedural mudah terlewatkan, dan proses peradilan kehilangan objektivitasnya. Ketika hal ini terjadi berulang, hak prerogatif Presiden muncul sebagai jalan pintas untuk mengoreksi kerusakan yang seharusnya dapat dicegah sejak awal.
Tanpa pembenahan pada tahap-tahap fundamental itu --penyidikan yang cermat, penuntutan yang proporsional, dan peradilan yang berani independen-- pemulihan melalui prerogatif hanya akan menjadi tambalan sementara. Sistem hukum tetap rapuh, dan keadilan tidak pernah bekerja sebagaimana mestinya.
Menata ulang
Pemberian amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, sebetulnya membuka ruang refleksi mengenai lemahnya mekanisme akuntabilitas di lembaga penegak hukum. Banyak kekeliruan pada tahap penyidikan hingga penuntutan dapat berlangsung karena tidak adanya instrumen koreksi internal yang bekerja secara efektif.
Penyidik jarang dievaluasi atas keputusan yang terbukti keliru, dakwaan yang lemah jarang ditinjau ulang secara institusional, dan putusan yang bermasalah sering dianggap sebagai risiko biasa dalam proses peradilan. Tanpa sistem pemeriksaan yang ketat terhadap setiap kesalahan, aparatur penegak hukum akan terus bekerja tanpa insentif untuk memperbaiki kualitas praktiknya.
Akuntabilitas yang kuat menuntut lebih dari sekadar pengawasan administratif; ini memerlukan standar profesional yang jelas, audit berkala terhadap penanganan perkara, serta keberanian institusi untuk mengakui kesalahan.
Di banyak negara, mekanisme, seperti case review board atau misconduct panel, dibentuk untuk memastikan bahwa setiap penyimpangan prosedur dicatat, dievaluasi, dan diperbaiki. Tanpa langkah serupa, kesalahan yang sama akan terus berulang, dan prerogatif Presiden akan menjadi satu-satunya alat koreksi yang tersedia, padahal itu bukan fungsi yang diharapkan dalam negara hukum modern.
Pembenahan akuntabilitas bukan hanya soal memperkuat prosedur internal, tetapi juga memastikan keterbukaan kepada publik. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana sebuah perkara diputuskan, sejauh mana bukti diuji, dan apa dasar keputusan aparat.
Ketika proses ini transparan, kepercayaan publik dapat dipulihkan tanpa menunggu intervensi konstitusional dari Presiden. Upaya inilah yang pada akhirnya menentukan masa depan penegakan hukum: apakah terus berjalan dengan tambalan, atau benar-benar dibangun ulang agar mampu menegakkan keadilan secara substantif.
*) Raihan Muhammad merupakan Direktur Eksekutif Amnesty UNNES; Pegiat Politik dan Hukum
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Abolisi, amnesti, rehabilitasi, dan alarm bagi penegak hukum
