Jakarta (ANTARA) - Di antara pulau-pulau di timur Indonesia, Morotai selalu tampak seperti paradoks yang menunggu ditafsirkan ulang.
Pulau yang dulu menjadi pangkalan militer Sekutu ini, kini berdiri di persimpangan besar: menjadi halaman depan kebangkitan hilirisasi tuna Nusantara atau sekadar contoh lain dari pembangunan yang berhenti pada tataran slogan.
Di atas peta, Morotai hanya titik. Tetapi dalam lanskap geostrategi, wilayah ini adalah beranda Indonesia ke Pasifik, titik singgung penting antara sumber daya laut, rantai pasok industri, dan kepentingan ekonomi nasional.
Potensi sebesar itu mensyaratkan tata kelola yang tidak lagi parsial seperti sekarang, melainkan terjalin dalam satu desain yang utuh, terukur, dan berbasis ilmu pengetahuan.
Selama beberapa tahun, Morotai memegang dua identitas yang berjalan sendiri-sendiri. Di sisi hulu, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) telah berdiri dengan fasilitas dermaga, pabrik es, cold storage, dan gudang logistik yang dirancang sebagai simpul pendaratan ikan.
Di sisi hilir, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Perikanan dan Pariwisata dibentuk untuk menarik industri olahan dan mengisi lumbung ekspor kawasan timur.
Namun, dua entitas ini tidak pernah dipertemukan dalam narasi pembangunan yang sama. SKPT bekerja sebagai pusat pendaratan yang belum tersambung ke industri besar, sementara KEK justru lebih berkembang sebagai lahan promosi investasi pariwisata.
Hilirisasi yang diharapkan berdiri kokoh di atas dua pilar ini pun terhenti di tengah jalan. Ini adalah tanda bahwa konsep besar tanpa keterpaduan sering kali gagal menjelma menjadi manfaat nyata bagi nelayan, tenaga kerja lokal, maupun industri nasional.
Padahal, bila kita melihat posisinya, Morotai adalah salah satu simpul strategis dari Sabuk Tuna Nusantara, sebuah cincin hilirisasi yang dirancang menyebar di timur Indonesia.
Sorong bertindak sebagai pintu barat, Saumlaki sebagai simpul selatan, sedangkan Morotai adalah pintu utara menuju pasar Jepang, Republik Korea, dan negara-negara Pasifik.
Peningkatan kapasitas Morotai tidak hanya soal angka ekspor, tetapi juga soal doktrin kehadiran bahwa negara menjaga laut tidak hanya melalui patroli, tetapi juga melalui pelabuhan ekspor, kawasan industri, dan simpul iptek di garis depan.
Di situlah makna geostrategis Morotai yang lebih luas daripada sekadar urusan ikan, karena ini menyangkut posisi Indonesia dalam arsitektur Indo-Pasifik masa depan.
Kawasan Hilirisasi
Kegagalan integrasi SKPT dan KEK membuat hilirisasi berjalan dengan kaki pincang. SKPT belum berfungsi optimal sementara fasilitas produksi dan rantai dinginnya masih sering kosong, pengiriman ke luar pulau belum terjamin konsistensinya, dan barang yang keluar masih dominan dalam bentuk bahan mentah.
KEK juga belum menjalankan mandat perikanannya. Tidak ada industri jangkar berskala besar yang berdiri, utilitas kawasan belum terbangun lengkap, dan tenaga kerja yang terserap masih jauh dari harapan.
Karena itu, pembenahan Morotai bukan sekadar memoles bangunan atau memperbanyak acara promosi, tetapi mengubah cara pandang terhadap konsep hilirisasi itu sendiri, bahwa hulu dan hilir harus disejajarkan dalam satu kesatuan kawasan yang memadukan infrastruktur, tata ruang, insentif, dan kelembagaan.
Prinsip KEK sesungguhnya menawarkan satu keunggulan yang tidak dimiliki kawasan industri biasa. Kehadiran payung hukum, insentif fiskal, kemudahan perizinan, serta kemampuan menyediakan utilitas kawasan secara kolektif memberi kepastian biaya dan efisiensi yang sangat dibutuhkan industri olahan tuna.
Industri dengan margin tipis dan tuntutan standar mutu global tidak akan tumbuh dalam lingkungan yang biayanya tidak kompetitif.
Justru dengan KEK yang tertata baik, air proses, listrik industri, laboratorium mutu, hingga fasilitas pengolahan limbah dapat dikelola sebagai ekosistem, bukan beban masing-masing pabrik.
Di sinilah Morotai harus bergerak dari kawasan yang hanya menjual lokasi menuju kawasan yang menawarkan efisiensi sistem, kepatuhan mutu, dan daya saing biaya.
Dalam desain hilirisasi yang modern, satu ekor tuna tidak boleh lagi berhenti sebagai loin beku.
Produk primer memang tetap jangkar ekspor, tetapi penguatan nilai tambah hadir dari produk sekunder seperti tuna kaleng, pouch siap saji, hingga produk tersier berbasis bioproses seperti kolagen peptida, minyak ikan kaya omega tiga, nutraseutikal, dan kosmetik laut.
Strategi zero waste bukan jargon ramah lingkungan, tapi inilah strategi ekonomi yang melipatgandakan nilai per ton ikan dan menciptakan kesempatan kerja pada skala yang jauh lebih luas.
Dengan portofolio produk seperti ini, Morotai dapat membangun identitasnya sebagai kawasan hilirisasi yang menggabungkan pangan, kesehatan, dan industri maritim berkelanjutan.
Transformasi Struktural
Simulasi geoekonomi memperlihatkan bahwa bila Morotai mencapai kapasitas penuh sekitar enam puluh enam ribu ton produk per tahun pada 2045, nilai ekspor dapat mencapai hampir empat ratus juta dolar AS.
Dengan struktur pabrik yang lengkap dan ekosistem logistik yang terintegrasi, serapan tenaga kerja langsung dapat mencapai hampir dua ribu orang, dan bila dihitung multipliereffect, total manfaatnya dapat mencapai lima hingga enam ribu tenaga kerja.
Bagi sebuah pulau perbatasan, angka ini artinya transformasi struktural, munculnya kelas menengah baru, meningkatnya pilihan karier anak muda, dan bertumbuhnya basis ekonomi daerah yang tidak lagi bergantung pada produk mentah.
Namun, tidak ada hilirisasi tanpa kepastian bahan baku. Morotai membutuhkan strategi pasokan yang menjamin keberlanjutan stok, kedaulatan armada nasional, dan keadilan bagi nelayan lokal.
Karena itu, strategi kemitraan tiga lapis menjadi kunci, nelayan lokal sebagai pemasok prioritas, kapal nasional berizin sebagai pemasok utama dalam skala menengah, dan kapal kerja sama di ZEE sebagai penyangga.
Proporsi ini penting untuk menegaskan bahwa Indonesia memprioritaskan kapal dalam negeri sebagai tuan rumah di lautnya sendiri. Ketika fondasi ini kuat, industri Morotai tidak akan limbung menghadapi gejolak harga global.
Di atas semua rancangan kawasan dan strategi pasokan, ekosistem ini membutuhkan sebuah otak iptek. Di sinilah BRIN memiliki peluang mengambil posisi strategis, bukan sebagai lembaga pendukung, tetapi sebagai arsitek teknologi dan inovasi hilirisasi.
BRIN dapat memimpin riset proses untuk produk bernilai tinggi, mengembangkan formulasi pangan dan suplemen kesehatan, menciptakan standar kepatuhan, serta menyusun rekomendasi kebijakan yang menjadi acuan nasional.
Dengan hadir di Morotai, BRIN dapat menjadikan kawasan ini bukan sekadar pusat industri, tetapi juga pusat pengetahuan, semacam laboratorium kebijakan hilirisasi tuna nasional.
Pada akhirnya, Morotai adalah cermin dari pilihan besar Indonesia: Apakah hilirisasi akan menjadi slogan atau strategi kebangsaan yang benar-benar dijalankan?
Di Morotai, Asta Cita berpadu dengan geostrategi dan geoekonomi bahwa negara hadir memperkuat batas laut melalui industri, meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi berlapis, dan membangun kebanggaan melalui kemandirian iptek.
Bila penataan ulang KEK yang terintegrasi dengan SKPT berjalan konsisten, Morotai dapat dikenang bukan sebagai pulau perang, tetapi sebagai titik awal kebangkitan hilirisasi tuna Nusantara, sebuah tonggak menuju Indonesia sebagai kekuatan maritim dan eksportir tuna bernilai tambah terkemuka pada 2045.
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Satya Negara Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Morotai dan awal kebangkitan hilirisasi tuna Nusantara
