Profesi Jurnalis, Antara Tekanan dan Keberanian
Sabtu, 15 Mei 2010 7:22 WIB
Pemberian hadiah world press freedom prize atau penghargaan kebebasan pers oleh UNESCO - Guillermo Cano sejak 1997 kepada jurnalis paling menderita di dunia menggambarkan kondisi profesi ini sebenarnya masih berada di bawah bayang-bayang tekanan berbagai pihak.
Tekanan seperti ini terjadi ketika seorang jurnalis mengungkap peristiwa yang dampaknya menyudutkan kepentingan sebuah rezim, pribadi maupun kelompok tertentu.
"Sejak belasan tahun silam, UNESCO - Guilermo Cano telah memberikan penghargaan kepada 14 jurnalis yang dinilai paling menderita hidupnya selama menjalankan profesi mereka di berbagai negara," kata salah satu juri organisasi tersebut, Atmakusumah Astraatmadja, di Ambon, Jumat.
Ketua Dewan Pers Indonesia periode 2001 -2003 itu berada di Ambon dalam rangka memberikan ceramah pada kegiatan lokakarya pers membangun demokrasi dan perdamaian yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo (LPDS) bersama Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Menurut dia, penghargaan internasional tersebut diberikan setiap peringatani hari kebebasan pers dunia 3 Mei, hadiah berupa uang tunai 25.000 Dolar AS.
Tahun ini, tim juri berjumlah sembilan orang dari berbagai negara, dipimpin wartawan asal Afrika Selatan menjatuhkan pilihannya kepada Monica Gonzales Mujica, seorang jurnalis freelance asal Chilie.
Monica dipilih sebagai wartawati yang berhak menerima penghargaan tersebut di Brasbine, Australia tanggal 3 Mei 2010, karena hasil karya jurnalistiknya mengkritisi kebijakan pemerintah sehingga dia berulang kali dituntut sampai masuk penjara.
Monica sempat mengungsi ke negara lain selama beberapa tahun karena nyawanya terancam. Namun saat kembali ke Chilie dan membuat sebuah film dokumenter, wartawati ini kembali menghadapi tuntutan hukum.
"Maut mengancam"
Berbeda dari Monica, pemberian penghargaan tahun 2009 kepada Lasantha Wickrematunye lebih menyedihkan. Karena kegigihannya dalam mengkritik pemeirntah Srilanka yang membasmi pemberontak Macan Tamil, jurnalis yang satu ini kehilangan nyawa.
"Pemimpin redaksi surat kabar Sunday Leader di Kolombo, Srilanka yang gencar mengkritik pemerintahnya menggunakan cara kekerasan dalam menekan pemberontak Macan Tamil Elam ini ditemukan tewas tanggal 11 Januari 2009 tanpa diketahui siapa pelakunya," kata Armakusumah, yang juga mantan wartawan LKBN ANTARA.
Sebelum ajal menjemput, Lasantha pernah menulis tajuk rencana yang diterbitkan tanggal 8 Januari 2009. dimana ia dengan berani menyatakan, "Ketika saya akhirnya terbunuh, maka pemerintahlah yang membunuh saya."
Dia termasuk salah satu tokoh penentang perang yang berlangsung selama 25 tahun antara tentara pemerintah Srilanka melawan tentara pemberontak Macan Tamil.
Isteri Lasantha sendiri tidak berani hadir di Doha, Qatar memenuhi undangan juri untuk menerima penghargaan UNESCO dan mewakilkan dirinya kepada salah seorang kemenakan.
Kisah pahit juga dialami Lydia Cacho Riberia, wartawati lepas asal Meksiko yang mendapat penghargaan pada Mei 2008 di Maputi, Muzambik.
Wanita tangguh yang menggeluti dunia jurnalisme ini mendapatkan banyak tekanan dan ancaman yang membahayakan nyawanya gara-gara menulis berita yang mengungkap kasus perdagangan wanita dan anak-anak di Meksiko.
Mobil yang dikendarainya pernah disabotase orang tak dikenal sehingga dia mengalami kecelakaan, namun nyawanya selamat.
Sejak 1997, kerjasama UNESCO - Guilermo Cano telah memberikan penghargaan kepada 14 jurnalis yang hidupnya paling menderita namun tetap ulet dan berani melakukan perlawanan.
Para penerima penghargaan itu berasal dari China, Nigeria, Meksiko, Syriah, Myanmar, Zimbabue, Israel, Kuba, Lebanon, Rusia, Srilanka dan Chili.
Atmakusumah Astraatmadja menyatakan, China dan Meksiko bisa dikatakan dua negara yang pemerintahnya cukup menekan kebebasan pers atau kebebasan berekspresi, paling tidak setelah jurnalis dari dua negara ini dua kali menerima penghargaan.
"Berikan bukti gambar"
Kekerasan terhadap pers di berbagai belahan dunia memang sering terjadi, termasuk kasus penganiayaan wartawan salah satu media swasta nasional Indonesia di Kota Ambon, Djufri Salmanery.
Kasus yang menimpa Djufry saat ini menjadi gunjingan publik dan berbagai kalangan di daerah maupun nasional, sebab status awalnya selaku korban pengeroyokan sejumlah oknum pegawai Pengadilan Negeri (PN) Ambon berubah menjadi tersangka.
"Saya berpendapat, kasus ini harus disikapi secara arif dan bijaksana dan semua rekaman gambar video yang ada harus dikumpulkan sebagai bukti," kata Direktur Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) Priyambodo RH.
Wartawan ANTARA yang akrab disapa Mas Bob itu menyatakan, rekaman gambar yang dimiliki para wartawan tentang kasus pengeroyokan Salmanery oleh oknum-oknum Pengadilan Negeri Ambon harus dibawa ke Dewan Pers sebagai bukti otentik. (Daniel Leonard)