Ambon (ANTARA) - Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri(Kejari) Namlea, Kabupaten Buru telah melakukan upaya banding atas keputusan majelis hakim Tipikor Ambon yang bervariasi terhadap dua terpidana korupsi dana proyek pembangunan reklamasi pantai (water front city) Namlea.
"Kami mendapat pemberitahuan pernyataan permohonan banding dari pengadilan Tipikor Ambon bahwa JPU Prasetya Djati Nugraha telah mengajukan permintaan banding atas klien kami Muhammad Duila alias Memet," kata penasihat hukum terpidana, Abdu Syukur Kaliki di Ambon, Rabu.
Surat relaas pemberitahuan pernyataan permohonan banding nomor 11/Akta.Pid.Sus-TPK/2019/PN Amb tertanggal 26 November 2019 tehadap putusan pengadilan tipikor pada Kantor PN Ambon tanggal 25 November 2019 nomor 13?Pid.Sus-TPK/2019/PN Amb.
"Karena pernyataan banding oleh JPU ini sudah dilakukan maka kami juga akan menyiapkan memori banding untuk diajukan ke pengadilan dan diteruskan ke Pengadilan Tinggi Ambon," akui Kaliki.
Langkah serupa juga dilakukan JPU terhadap terpidana lainnya atas nama Muhammad Ridwan Patilou.
Penasihat hukum Muhammad Ridwan, Benny Tasijawa juga mengakui telah menerima surat pemberitahuan dari PN Ambon tentang adanya upaya banding yang dilakukan JPU sehingga pihaknya juga akan menyiapkan memori banding.
Untuk diketahui, Muhamad Duila, Sri Jauranty, dan Muhamad Ridwan Patilou dijatuhi vonis bervariasi oleh majelis hakim tipikor Ambon setelah JPU menuntut ketiganya selama sembilan tahun penjara.
Dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim tipikor, Christina Tetelepta didampingi RA Didi Ismiatun dan Herry Leliantono menghukum
terdakwa Muhamad Duila dan Sri Jauranty selama tujuh dan sembilan tahun penjara, sedangkan Muhammad Ridwan Pattilou dihukum tujuh tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melanggar pasal 2 juncto pasal 18 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 sehingga membebaskan keduanya dari dakwaan primair," kata majelis hakim.
Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menghukum terdakwa Muhamad Duila membayar denda sebesar Rp300 juta subsider empat bulan kurungan, dan denda Rp300 juta subsider lima bulan kurungan terhadap Sri Jauranty.
Sedangkan terdakwa Muhamad Ridwan Pattilou dalam persidangan terpisah dipimpin RA Didi Ismiatun sebagai hakim ketua didampingi Christina Tetelepta dan Herry Leliantono menjatuhan vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan.
Dalam dua persidangan terpisah ini, hakim anggota Herry Leliantono selaku hakim adhoc tipikor tidak sependapat dengan ketua dan satu anggota majelis hakim sehingga dibacakan Dissenting Opinion.
Dissenting Opininon merupakan pendapat yang berbeda dan tidak setuju terhadap putusan penghakiman dari mayoritas hakim dalam majelis yang membuat keputusan.
Menurut Leliantono, seharusnya para terdakwa dihukum empat tahun penjara karena dia melihat para penyelenggara proyek berada di bawah tekanan, sehingga hukumannya jangan hanya dilihat dari konteksnya semata.
Atas putusan tersebut, baik JPU maupun para terdakwa melalui tim penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir sehingga diberikan waktu selama tujuh hari untuk menyampaikan sikap.
Terdakwa Sri Jauranty selaku PPTK dalam proyek tersebut awalnya dituntut sembilan tahun penjara, sama halnya dengan terdakwa Muhammad Duila dan M. Ridwan Patilou juga dituntut sembilan tahun penjara.
Satu terdakwa lain atas nama Saharan Umasugy telah divonis majelis hakim tipikor Ambon pada akhir pekan lalu.
Ketua majelis hakim Tipikor, Pasti Tarigan dan didampingi Jimmy Wally serta Jefry Yefta Sinaga selaku hakim anggota menghukum terdakwa selama 11 tahun penjara, membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta uang pengganti senilai Rp4,888 miliar subsider satu tahun kurungan.