Ambon (Antara Maluku) - Memperingati Hari Perempuan se-Dunia, Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon menggelar diskusi terbatas dalam rangka memperjuangkan hak-hak jurnalis perempuan di Maluku.
Diskusi itu, yang berlangsung di Sekretariat AJI Ambon, Kamis sore, mengusung tema "Menilik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Jurnalis Perempuan di Maluku" dan diikuti para jurnalis, aktivis, dan mahasiswa.
Salah seorang pemateri yang juga Ketua AJI Ambon, Insany Syahbarwaty mengatakan, perusahaan media harus memperhatikan hak jurnalis perempuan terkait keselamatan dan kesehatan kerjanya, seperti yang diamanatkan "Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women" (CEDAW) di Meksiko 1975.
"Dalam Konferensi Dunia Pertama tentang Perempuan di Meksiko tahun 1975 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984," katanya.
UU Nomor 7 tahun 1984 pasal 12 ayat satu berbunyi, negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak lanjut untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan.
Sementara pasal dua menyebutkan, negara wajib menjamin bahwa perempuan mendapat pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan, dan mendapatkan makanan bergizi yang cukup selama hamil dan menyusui.
Insany mengatakan, hak reproduksi perempuan juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 13 tahun 2003 dengan tegas melarang perusahaan mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya jika bekerja antara pukul 23.00 - 07.00," katanya.
Ia mengatakan, bila mempekerjakan perempuan hamil, perusahaan wajib memberikan makanan dan minuman bergizi kepadanya. Selain itu, perusahaan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 - 05.00.
Perlindungan terhadap hak pekerja perempuan juga tertuang dalam UU Nomor 13 tahun 2003. Dalam pasal 81 disebutkan bahwa pekerja perempuan saat haid merasakan sakit dan memberitahukannya kepada pihak perusahaan, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua masa menstruasi.
Pekerja perempuan juga berhak memperoleh istirahat sebelum dan sesudah melahirkan masing-masing selama 1,5 bulan.
Bagi pekerja yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter.
Dikatakan Insany, para jurnalis perempuan seringkali tidak memahami hak kodratinya secara fisik seperti pekerja perempuan pada umumnya.
"Jurnalis perempuan berada pada posisi keselamatan dan kesehatan kerjanya terabaikan oleh perusahaan media tempat dia bekerja. Apalagi tidak ada regulasi khusus yang bisa menjelaskan posisi jurnalis perempuan ini," ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, kata dia, seharusnya jurnalis perempuan mendapat perlindungan seperti yang diamanatkan CEDAW.
"Negara harus membuat regulasi yang jelas tentang hal ini untuk mengikat perusahaan media memberlakukan aturan tersebut," tegas Insany.
Sementara pemeteri lainnya, Vony Litamahuputty mengatakan, dalam menjalankan profesinya di daerah konflik, jurnalis perempuan harus memprioritaskan keselamatannya dibanding tanggungjawab sebagai pencari berita.
"Meskipun tugas kita mengungkapkan fakta dalam suatu peristiwa, tapi jika liputan itu berisiko mengancam keselamatan maka sebaiknya dipikirkan lagi, atau ambil alternatif lain, misalnya mengumpulkan data lewat teman-teman kita," katanya.
Diskusi Menilik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Jurnalis Perempuan di Maluku menghasilkan tiga poin penting, pertama jurnalis perempuan saat melaksanakan tugas jurnalistiknya harus mengutamakan keselamatan.
Kedua, dari segi pengembangan karir perempuan harus dipandang dan diperlakukan sama seperti pekerja laki-laki.
Ketiga, diskusi tentang perempuan harus terus digaungkan dalam rangka melindungi hak-hak perempuan.