Jakarta (ANTARA) - Pengamat pertahanan, militer dan intelijen Connie Rahakundini Bakrie menyesalkan sikap TNI AD yang tidak berkoordinasi dengan kepolisian terkait kasus kekerasan yang diduga dilakukan oknum TNI pada relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali, Jawa Tengah.
“Kalau memang isunya soal lalu lintas, dari pagi sudah berisik atau lain-lain, kenapa tidak telepon polisi? katanya TNI dan Polisi bersaudara?” kata Connie dalam diskusi publik bertajuk “Knalpot Brong Vs Tentara” di Jakarta, Kamis.
Dia juga menanggapi tindak penganiayaan pada tujuh relawan Ganjar-Mahfud yang diduga dilakukan oknum TNI AD di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/SBH, Boyolali, Sabtu (30/12).
Menurut dia, jika prajurit TNI terganggu dengan suara knalpot brong atau bising yang keluar dari motor sukarelawan, seharusnya segera mengajak pihak terkait untuk berdiskusi dan segera menelepon polisi selaku pihak yang berwenang atas ketertiban lalu lintas.
Dia menilai TNI tidak bisa main hakim atas keinginannya sendiri, terutama melanggar tugas dan fungsinya sebagai aparat yang menjaga keamanan bangsa.
Baca juga: TPN: Tragedi Boyolali ujian integritas pemilu
Connie menilai kalau TNI sulit berkoordinasi dengan kepolisian, maka bisa segera melaporkan masalah ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kita harus tahu knalpot brong yang terlibat dalam penanganannya tidak hanya polisi, tapi KLHK. Ada di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2009 tentang ambang batas kebisingan bermotor, itu ada di KLHK, jadi kalau dari zaman dulu knalpot brong sudah ada dan prajurit merasa terganggu, kenapa tidak dari zaman dulu batalyon AD lapor KLHK?” ujarnya.
Ia juga menyayangkan sikap Komandan Kodim 0724/Boyolali Letkol (Inf) Wiweko Wulang Widodo dalam kasus tersebut.
Connie meyakini prajurit tidak akan berani bergerak sendiri keluar markas jika tidak ada perintah dari atasan yang diduga memiliki kepentingan politik.
“Menurut saya koreksi kalau saya salah, tapi di tentara itu tidak mungkin kalau tidak ada perintah atasan, tidak mungkin keluar dari satuan ke jalan raya,” katanya.
Dosen Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut itu juga mengatakan bila TNI AD masih mengurusi hal yang tidak menjadi kewenangannya, maka disarankan agar Menteri Pertahanan memangkas anggaran pembelian kendaraan militer dan dialokasikan untuk keperluan lainnya.
“Katanya tentara terpanggil mengurusi knalpot brong? Saya nanti akan usulkan kepada Menhan yang baru kalau anggaran pembelian alutsista negara dalam hal ini TNI AD, hilangkan saja. Karena dia tidak perlu lagi tank atau yang aneh-aneh karena cuma mau mengurusi knalpot,” katanya.
Baca juga: Ganjar Pranowo: Relawan harus gotong royong demi "hattrick" Pilpres
Connie meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut andil dalam investigasi kasus tersebut sampai tuntas. Hal itu menurut dia agar potensi dugaan kekerasan politik ataupun temuan lain dapat ditemukan untuk menjadi acuan pihak berwenang menghukum oknum yang menjadi tersangka kasus tersebut.
Enam oknum TNI pelaku penganiayaan terhadap dua sukarelawan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Ganjar Pranowo-Mahfud Md. di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Berdasarkan alat bukti dan keterangan terperiksa, penyidik Denpom IV/4 Surakarta telah mengerucutkan keenam pelaku," kata Kepala Penerangan Kodam IV/ Diponegoro Kolonel Richard Harison di Semarang, Selasa (2/1).
Keenam pelaku tersebut masing-masing Prada Y, Prada P, Prada A, Prada J, Prada F, dan Prada M.
Menurut dia, perkara tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Oditur Militer sebelum disidangkan di pengadilan militer.
Richard memastikan proses hukum terhadap enam oknum anggota Kompi B Yonif Raider 408/Sbh berjalan independen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat sesalkan TNI tak koordinasi ke polisi terkait relawan Ganjar