Jakarta (ANTARA) - Setiap tanggal 10 Zulhijah, jutaan umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ibadah kurban sebagai peringatan ketaatan Nabi Ibrahim AS dalam melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS.
Namun, peristiwa ini berakhir dengan digantinya Ismail oleh seekor hewan kurban sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT.
Ibadah kurban merupakan perwujudan dari kepatuhan dan keikhlasan seorang hamba kepada Rabb-nya.
Rasulullah SAW bahkan mengajarkan agar kita menyembelih dengan cara yang baik di antaranya adalah kita diminta untuk menggunakan pisau yang tajam, tidak boleh menyiksa hewan, dan hewan harus dibuat tenang sebelum disembelih.
Menariknya, ajaran ini kini terbukti sangat selaras dengan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) dan keamanan pangan modern. Bahkan di balik prosesi penyembelihan hewan kurban yang dilakukan secara syar’I, ada sebuah harmoni luar biasa antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan.
Nilai ibadah kurban bukan terletak pada hewan atau darahnya, tetapi pada niat dan ketakwaan yang melandasi ibadah tersebut.
Namun, dalam realisasi ibadah kurban, aspek biologis seperti penyembelihan yang benar dan pengelolaan daging yang higienis tidak boleh diabaikan. Di sinilah ilmu pengetahuan berperan untuk mengoptimalkan nilai ibadah dalam praktik.
Ibadah kurban bukan sekadar ritual, melainkan juga proses biologis yang sangat ilmiah.
Pernahkah kita berpikir, bagaimana tubuh hewan bisa tetap “hidup” sesaat setelah disembelih? Atau kenapa daging qurban bisa lebih awet dan sehat jika disembelih sesuai syariat? Jawabannya terletak pada kerja para enzim dan proses biologis yang disebut apoptosis — atau kematian sel yang terprogram.
Di balik proses kurban, terjadi berbagai reaksi biokimia kompleks dalam tubuh hewan, yang tidak hanya berkaitan dengan sistem peredaran darah dan saraf, tetapi juga keterlibatan molekul-molekul biologis seperti enzim yang memiliki peran fundamental dalam menjaga kualitas daging, aspek halal-thayyib, dan efisiensi biologis.
Enzim dapat dikatakan sebagai pekerja sunyi dalam tubuh makhluk hidup. Enzim adalah biomolekul berupa protein yang bertindak sebagai katalisator biologis. Enzim mempercepat reaksi kimia tanpa ikut habis dalam reaksi tersebut.
Dalam tubuh hewan maupun manusia, enzim berperan dalam berbagai proses metabolisme: pencernaan, kontraksi otot, transmisi sinyal saraf, hingga kematian sel (apoptosis).
Enzim adalah protein spesial yang bekerja sebagai “mesin pemroses” dalam tubuh semua makhluk hidup. Saat hewan kurban disembelih, tubuhnya mulai mengalami perubahan biologis. Enzim-enzim seperti protease dan ATPase langsung bekerja memecah protein dan sisa energi dalam otot. Inilah yang membuat daging menjadi empuk secara alami.
Hebatnya lagi, tubuh hewan tidak serta-merta "mati total" setelah disembelih. Otot-ototnya masih aktif sebentar, berkat energi terakhir yang dibantu oleh enzim. Proses ini membuat darah bisa keluar lebih sempurna, menjadikan daging lebih bersih dan tahan lama.
Berbeda dengan kematian sel akibat kecelakaan (nekrosis), apoptosis adalah proses alami dan tertib. Setelah aliran darah berhenti, sel-sel dalam tubuh hewan akan mematikan diri secara sistematis. Ini adalah cara tubuh "berpamitan" dengan rapi, tanpa membuat kerusakan tambahan.
Apoptosis membantu membersihkan jaringan dari zat-zat berbahaya dan mempermudah kerja enzim. Maka, semakin syar’i proses penyembelihan, semakin alami dan sehat pula kematian sel dalam tubuh hewan tersebut.
Ketika hewan disembelih secara syar’i (memotong tiga saluran utama: trakea, esofagus, dan dua pembuluh darah besar), beberapa proses penting terjadi di antaranya adalah pertama terjadinya perdarahan maksimal dimana penyembelihan yang benar akan menyebabkan darah keluar dengan cepat karena jantung masih berdetak beberapa saat setelah penyembelihan. Ini penting untuk mengurangi kadar mikroba dalam daging dan mempertahankan kualitas daging kurban.
Setelah mengalami kematian, terjadi proses yang disebut dengan rigor mortis atau kekakuan otot yang disebabkan oleh berhentinya suplai ATP (Adenosin Tri Phospat) yakni suatu molekul yang berfungsi sebagai sumber utama dalam sel. Dalam kondisi ini, otot mengeras karena jembatan silang aktin-myosin terkunci.
Proses selanjutnya adalah terjadinya Autolisis oleh Enzim Endogen dan di sinilah pengorbanan enzim mulai bekerja.
Enzim-enzim proteolitik seperti kathepsin dan kalpain, yang sebelumnya aktif dalam sel hidup, mulai mendegradasi protein otot. Proses ini disebut autolisis, yaitu pencernaan diri oleh enzim sendiri. Enzim ini menghancurkan jaringan otot dan ikat, menghasilkan daging yang lebih empuk dan lezat.
Ada juga yang disebut sebagai Enzim protease bertanggung jawab dalam proses pelunakan daging (meat tenderization). Selama beberapa jam atau hari setelah penyembelihan, enzim bekerja memecah serabut otot dan jaringan ikat, sehingga tekstur daging menjadi lembut. Ini menunjukkan bahwa bahkan setelah hewan “berkorban”, sel-sel dalam tubuhnya, melalui aktivitas enzimatik, masih memberikan manfaat bagi manusia. Sebuah bentuk “pengorbanan enzimatis” yang terjadi tanpa henti, sebagai bentuk kelanjutan dari ibadah kurban yang diterjemahkan dalam manfaat biologis.
Penyembelihan hewan yang dilakukan secara syar’i membuat enzim endogen tetap aktif sesaat setelah kematian. Sebaliknya, penyembelihan yang tidak sesuai menyebabkan kematian mendadak (misalnya dengan setrum atau pukulan), yang membuat aktivitas enzim terganggu dan meningkatkan kadar asam laktat, menyebabkan daging cepat rusak.
Keberadaan enzim dalam proses autolisis juga akan membantu mencegah pembusukan dini dan menciptakan rasa khas daging. Di antara ciri-ciri daging yang thayyib adalah tidak keras atau alot, tidak cepat membusuk dan tidak berbau busuk. Hal ini sangat bergantung pada efisiensi enzim yang bekerja setelah penyembelihan. Bahkan dalam proses pengawetan daging (seperti fermentasi sosis, abon, dan dendeng), enzim dari mikroba juga berperan penting.
Banyak studi membuktikan bahwa penyembelihan hewan secara Islam memberikan hasil daging yang lebih baik. Penelitian oleh Rahman dkk. (2020) menunjukkan bahwa gen apoptosis bekerja lebih alami pada hewan yang disembelih secara syar’i. Penelitian lainnya (Toldrá, 2016) membuktikan enzim dalam otot bekerja lebih efisien dan membuat daging lebih empuk.
Saat ini, industri pengolahan daging juga menggunakan enzim rekombinan atau yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti enzim Papain (bersumber dari daun papaya yang memiliki fungsi dalam melunakkan daging), enzim Bromelain (bersumber dari buah nanas dan berfungsi untuk mempercepat fermentasi) serta enzim Transglutaminase yang berfungsi mengikat potongan daging menjadi utuh.
Adanya penggunaan enzim ini memperpanjang filosofi kurban, dari sekadar penyembelihan menjadi proses industrialisasi yang tetap menjaga nilai manfaat, efisiensi, dan kehalalan.
Terdapat etika dan regulasi halal terhadap penggunaan enzim ini. BPJPH dan MUI telah mengatur bahwa sumber enzim yang digunakan dalam makanan harus halal (tidak dari hewan najis atau haram), thayyib (aman, tidak berbahaya) dan diperoleh melalui proses fermentasi mikroba halal jika berasal dari sumber non-hewan.
Hal ini tentu sesuatu yang sangat penting penting dalam menghadapi tantangan modern, seperti enzim hasil rekayasa genetika (GMO) yang harus ditelusuri asal-usulnya.
Enzim dalam konteks ibadah kurban ini bisa dijadikan sebagai simbol ketaatan atau ketundukan hamba kepada Tuhan. Enzim tidak “memilih” tugasnya. Ia bekerja sesuai perintah DNA dan lingkungan. Ia tidak protes, tidak berhenti bekerja walau setelah “kematian” sel.
Ini bisa menjadi teladan bagi manusia, bahwa pengabdian tidak berhenti hanya karena situasi berubah.
Enzim juga bekerja tanpa pamrih. Ia tidak terlihat, tetapi hasil kerjanya terasa yang dibuktikan dengan adanya daging yang empuk, lezat, dan tahan lama. Inilah bentuk “ikhlas” dalam biokimia—bekerja tanpa mengharapkan pengakuan. Meskipun sel sudah mati, enzimnya masih bekerja. Sebagaimana seseorang yang telah wafat, namun amalnya masih memberi manfaat.
Rasulullah SAW bersabda: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Dalam konteks ini enzim adalah “amal jariyah” dalam biologi hewan kurban. Pengenalan konsep “pengorbanan enzim” ini tentu dapat digunakan sebagai pendekatan edukatif yang menyentuh aspek kognitif, afektif, dan spiritual peserta didik baik siswa atau mahasiswa.
Di dalam pembelajaran Biokimia atau Biologi Umum misalnya, topik ini bisa menjadi jembatan integrasi antara sains dan Islam. Adanya praktikum pelunakan daging dengan dan tanpa enzim bisa menjadi contoh kegiatan yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, dalam konteks ini maka dalam setiap ibadah kurban, kita tidak hanya menyaksikan ketaatan seorang Muslim kepada Rabb-nya, tetapi juga menyaksikan jutaan molekul dalam tubuh hewan kurban yang tetap bekerja memberikan manfaat bahkan setelah kematian. Enzim adalah simbol pengorbanan sunyi yang tak terlihat, tetapi berkontribusi nyata.
Kurban sejatinya adalah pelajaran hidup. Ia mengajarkan kita untuk ikhlas, peduli pada sesama, dan bertanggung jawab pada makhluk hidup lainnya.
Dari sudut pandang biologi, kita juga diajarkan untuk memahami bahwa setiap proses dalam tubuh makhluk hidup adalah ciptaan Allah yang luar biasa rapi dan ilmiah.
Mari belajar dari enzim: kecil, tidak dikenal, tapi berdampak besar. Maka, mari kita tunaikan kurban dengan penuh kesadaran. Di balik tetesan darah kurban, ada ilmu, kasih sayang, dan penghambaan kepada Tuhan. Kurban bukan hanya menyembelih, tetapi juga menyelami makna kehidupan itu sendiri.
Semoga ibadah kurban kita tahun ini menjadi sarana pengorbanan, keikhlasan, dan pengabdian—baik secara lahir maupun batin, wallohu a’lam bishowab.
*) Misbakhul Munir, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul:
Ketika sains dan iman bertemu di Hari Raya Kurban