Masyarakat Maluku bersorak gembira. Mereka bersyukur atas prestasi yang disemai kontingen provinsi seribu pulau ini sebagai juara umum Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional XI, yang berlangsung di Kota Ambon pada 2-10 Oktober lalu.
Maluku meraih predikat itu dengan mengantongi tiga gelar "champion", masing-masing kategori solo anak, musik pop gerejawi, dan paduan suara pria. Hasil itu menggeser juara bertahan Papua Barat ke posisi "runner up".
Kendati Papua Barat juga menyabet tiga gelar "champion", nilai yang mereka raih untuk masing-masing kategori tidak bisa menandingi Maluku.
Sungguhpun demikian, seluruh 34 kontingen yang hadir dari berbagai provinsi di Tanah Air larut dalam kegembiraan. Bagi mereka, juara bukanlah target utama tetapi memuliakan Tuhan lewat puji-pujian.
Kemeriahan Pesparawi XI yang dibuka Presiden Joko Widodo, Selasa (6/10) mencapai klimaks pada Sabtu (10/10), ketika acara penutupan dihelat di Stadion Mandala dengan materi utama pembacaan hasil penjurian. Suka cita seluruh peserta tetap terlihat meskipun Wakil Presiden Jusuf Kalla batal datang untuk menutup pesta.
Kegembiraan masyarakat Maluku teristimewa yang berada di Kota Ambon dan sekitarnya juga dikarenakan besarnya perhatian yang diberikan umat Muslim di daerah ini untuk menyukseskan lomba banding nyanyi tersebut.
Betapa tidak, peserta Pesparawi banyak yang ditampung di rumah-rumah warga beragama Islam karena terbatasnya hotel.
Jauh hari sebelum pesta digelar, para tokoh agama Islam sudah menyampaikan dukungan penuh, dan menyatakan warganya siap menampung peserta yang tidak mendapatkan hotel atau penginapan.
Ketika rombongan pertama peserta tiba di Kota Ambon pada Jumat (2/10), masyarakat Muslim di kawasan Batumerah bahkan membuat acara penyambutan. Momen itu pun tak pelak menjadi fenomena besar yang terekam kamera berbagai media.
Kawasan Waihaong dan Silale pun menjadi tuan rumah peserta pesta, sementara Pastori Gereja Protestan Maluku "Jemaat" Sinar disiapkan sebagai tempat menginap Gubernur Banten Rano Karno.
Dari fakta-fakta tersebut jelas terlihat betapa sebenarnya warga Muslim dan Kristen di Kota Ambon dan Maluku tidak melihat perbedaan di antara mereka itu sebagai dinding pembatas atau bahkan alasan untuk hidup saling berjauhan.
Mazmur 133
Dalam upaya menunjukkan bahwa masyarakat Maluku pada umumnya cinta damai sebagai orang "basudara" (bersaudara), panitia Pesparawi XI mengusung tema besar kerukunan hidup, dipetik dari Kitab Mazmur pasal 133 ayat 1 yang berbunyi, "Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun."
Tema ini menjadi sangat kuat dengan adanya dukungan penuh masyarakat, baik komunitas Kristen maupun Islam, dan juga penganut agama lain di Maluku.
Presiden Joko Widodo, saat memberikan sambutan pada acara pembukaan, menyerukan kerukunan sebagai hal yang sangat penting dilakukan oleh segenap warga bangsa. Ia meminta pemerintah dan masyarakat Kota Ambon dan Maluku pada umumnya menunjukkan jati diri sebagai bagian dari nafas hidup kerukunan dan persaudaraan sejati.
"Tunjukkan bahwa Ambon adalah paduan suara bersama yang harmonis. Tunjukkan Ambon adalah nafas hidup bersama semua orang. Tunjukkan Kota Ambon manise," kata Presiden.
Ia juga berharap kehadiran lebih dari 7.000 peserta dan penggembira Pesparawi kali ini tidak hanya untuk berlomba tetapi membawa kabar damai dan persaudaraan untuk seluruh warga bangsa.
Menurut Presiden, persaudaraan sebagai landasan persatuan dan kesatuan itu merupakan modal utama agar Indonesia bisa keluar dari berbagai persoalan termasuk tekanan ekonomi yang melanda hampir seluruh negara di dunia, dewasa ini.
Bagi pemerintah dan rakyat Maluku, hidup rukun sebagai orang "basudara" merupakan satu target yang terus diupayakan pascakonflik 1999-2003.
Sebelum Pesparawi ini, pada 2012 Maluku menjadi tuan rumah penyelenggara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional, dan saat itu warga Kristen juga memberikan dukungan penuh bagi suksesnya acara tersebut.
Sikap saling mendukung dari dua komunitas yang dulu pernah berbenturan ini tentu harus dipertahankan dan dilestarikan agar Kota Ambon dan Maluku kembali layak menyandang predikat "manise".
Belajar dari Wayame
Hal terbaru yang datang dari penyelenggaraan Pesparawi Nasional adalah keinginan untuk membangun Perkampungan Kerukunan Umat.
Menurut Gubernur Maluku Said Assagaff, perkampungan itu akan dibangun untuk menanggapi pertanyaan Presiden Joko Widodo tentang di mana masyarakat nasional dan internasional dapat melihat laboratorium perdamaian di provinsi ini.
Untuk itu, barangkali perlu ditengok keberadaan masyarakat di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, yang mampu menghindarkan diri dari konflik berdarah pada 1999-2003.
"Kemampuan untuk mencegah konflik itu bisa dipelajari dari kehidupan masyarakat di Desa Wayame," kata Luis Ubra, dari Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura Ambon yang melakukan penelitian mengenai pendidikan perdamaian berbasis multikultural di Desa Wayame, baik yang berada di lingkungan perumahan (BTN Wayame) maupun di sekitarnya yang biasa disebut dengan "Wayame Kampung".
Penelitian yang dilakukannya sejak tahun 2014 itu merupakan bahan desertasi doktoral yang sedang dalam penulisan.
Berjarak lebih kurang 14 kilometer dari Bandara Internasional Pattimura, Wayame terkenal sebagai satu-satunya daerah yang bebas dari pertikaian berdarah yang menewaskan banyak jiwa, ketika konflik horizontal berbau agama melanda Maluku.
Keistimewaan itu membuat Wayame disebut-sebut sebagai desa percontohan di mana masyarakat dari berbagai suku, agama, dan strata sosial hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Menurut Luis Ubra, masyarakat Wayame memiliki ketahanan untuk tidak terjebak pada perbedaan-perbedaan yang bisa memicu konflik di antara mereka.
Ketahanan itu datang dari upaya masyarakat setempat untuk membangun perdamaian secara bersama-sama dan mengimplementasikan prinsip-prinsip hidup orang basudara dan keberagamaan Salam-Sarane yang rukun dan damai.
"Masyarakat Wayame tidak hanya memahami arti perdamaian, mereka mendidik anak-anaknya dan melakukannya dalam kehidupan," katanya.
Ia menepis anggapan bahwa desa Wayame tidak terlibat konflik karena warga setempat pada umumnya adalah orang-orang yang berpendidikan.
"Di Poka dan Rumahtiga juga banyak orang terdidik, tetapi di sana juga terjadi konflik," katanya.
Prakarsa dari pemerintah desa Wayame, tokoh masyarakat, agama dan adat yang secara sadar membentuk "Tim 20" beranggotakan orang-orang yang disegani dari dua komunitas juga merupakan faktor utama Wayame tidak masuk kancah pertikaian maut saat konflik horizontal terjadi pada 16 tahun silam.
Kelompok tersebut bertugas mengolah setiap isu perpecahan dan memberikan penjelasan kepada masyarakat agar tidak termakan isu.
Sampai saat ini, desa Wayame merupakan satu-satunya wilayah permukiman yang heterogen di Kota Ambon, bahkan mungkin di Maluku.
"Meskipun warga Muslim dan etnis Buton adalah yang dominan, tetapi mereka tidak menjadikan kekuatan dimaksud sebagai alasan untuk menyingkirkan yang lain," kata Luis.
Seandainya saja kehidupan rukun dan damai yang ada di desa Wayame bisa menjadi contoh, maka ada harapan indahnya hidup orang basudara di Maluku kembali hadir seperti dulu.
Jauh sebelum pecah konflik 1999-2003, ada kebiasaan yang sangat baik diterapkan oleh masyarakat Maluku, khususnya dalam pembangunan rumah ibadah.
Dulu, setiap kali ada pembangunan masjid, maka warga Kristen yang bertanggungjawab untuk membangun tiang utamanya. Sebaliknya, warga Muslim juga mengambil tanggung jawab sama pada pembangunan gereja.
Kebiasaan itu tentu saja perlu dihidupkan kembali agar betul-betul tercipta kehidupan masyarakat Maluku yang rukun dan damai.
Bila itu terwujud, maka siapapun yang ingin menyaksikan laboratorium perdamaian dapat datang ke Ambon atau kota lainnya di Maluku, dan bebas memilih daerah mana ia mau tinggal.