Kementerian Pariwisata sejak 2008 telah memasukkan Festival Legu Gam (FLG) yang digelar Kesultanan Ternate di Ternate, Maluku Utara (Malut), setiap pertengahan Maret hingga pertengahan April sebagai kegiatan pariwisata nasional.
Tetapi pada 2018 ini, Kementerian Pariwisata memutuskan tidak lagi memasukkan festival yang mengusung pesta rakyat untuk memeriahkan ulang tahun Sultan Ternate itu sebagai kegiatan pariwisata nasional.
Kementerian Pariwisata juga memutuskan tidak lagi mengucurkan anggaran untuk mendukung pelaksanaan FLG, yang setiap tahunnya sebesar Rp750 juta, belum termasuk anggaran untuk promosi yang dilaksanakan langsung oleh kementerian itu.
Keputusan Kementerian Pariwisata itu, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Ternate Samin Marsaoly, diambil menyusul adanya dualisme kepanitiaan yang akan menggelar FLG 2018, yakni kepanitiaan yang dibentuk oleh putra-putri almarhum Sultan Mudafar Syah dan kepanitiaan yang bentuk Sultan Ternate saat ini Sultan Sarifuddin Syah.
Munculnya dualisme kepanitiaan itu merupakan imbas dari perselesihan di internal Kesultanan Ternate terkait pemilihan Sultan Ternate pasca-wafatnya Sultan Mudafar Syah pada 2015.
Pengalaman dalam penyelenggaraan FLG selama ini, kepanitiaan FLG dibentuk oleh Sultan Ternate, tetapi karena keberadaan Sultan Ternate saat ini, yakni Sultan Sarifuddin Syah, tidak diakui oleh sebagian masyarakat di Kesultanan Ternate, sehingga munculnya kepanitiaan lain tidak bisa dihindari.
Kementerian Pariwisata pada awal Februari 2018 mengundang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Maluku Utara dan Disbudpar Kota Ternate untuk mencari solusi atas adanya dualisme kepanitiaan dari penyelenggaraan FLG 2018 ini.
Saat itu Kementerian Pariwisata memberi batas waktu sampai akhir Februari 2018 kepada kedua kepanitiaan penyelenggara FLG harus islah dan kalau tidak FLG akan dikeluarkan dari kegiatan pariwisata nasional, begitu pula dukungan anggaran tidak akan diberikan untuk mencegah terjadinya gesekan di masyarakat.
Tetapi permintaan Kementerian Pariwisata itu tidak dipatuhi, bahkan masing-masing panitia tetap bersikukuh untuk menggelar FLG dengan argumentasi sendiri-sendiri, sementara Pemprov Malut dan Pemkot Ternate sepertinya tidak bisa berbuat banyak untuk mendamaikan kedua bela pihak.
Panitia FLG yang dibentuk oleh putra-putri almarhum Sultan Mudafar Syah menggelar FLG di sekitar Kedaton Kesultanan Ternate, sedangkan panitian FLG yang dibentuk Sultan Ternate saat ini kemudian melaksanakan FLG di kawasan Benteng Oranje.
Adanya dualisme penyelenggaraan FLG tersebut, memunculkan kebingunan kepada masyarakat, khususnya para pelaku usaha ekonomi kreatif, seperti para pedagang dan para perajin yang akan berpartisipasi pada penyelenggaraan FLG.
Kontribusi Besar
Anggota DPRD Malut Irfan Umasugi menilai penyelenggaraan FLG selama ini telah memberi kontribusi besar dalam memperkenalkan kekayaan budaya, pariwisata dan potensi investasi di Kota Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Malut kepada masyarakat luas di dalam dan luar negeri.
Puluhan ribu pengunjung dari wilayah Malut, termasuk dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri selalu memadati arena penyelenggaraan FLG setiap tahunnya, di Lapangan Ngara Lamo, yang letaknya tepat di depan Kedaton Kesultanan Ternate.
Sultan dan raja dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari kawasan ASEAN, seperti dari Brunei Darusallam, Thailand dan Malaysia serta duta besar dari berbagai negara pernah berkunjung ke Ternate untuk menghadiri penyelenggaraan FLG.
Penyelenggaraan FLG di Ternate selama ini juga berperan besar dalam pengembangan usaha ekonomi kreatif, bahkan kegiatan itu selalu menjadi sarana bagi masyarakat untuk menjadi wirausaha dadakan, misalnya dengan berjualan kuliner di lokasi penyelenggaraan FLG.
Perputaran uang dalam setiap penyelenggaraan FLG, baik dari aktivitas ekonomi kreatif di lokasi FLG maupun aktivitas lainnya yang terkait dengan kegiatan itu, seperti transportasi dan penyediaan bahan baku kebutuhan di FLG diperkirakan mencapai di atas Rp20 miliar.
Bagi Kesultanan Ternate sendiri, termasuk Tiga kesultanan lainnya di Malut, yakni Kesultanan Jailolo, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan, penyelenggaraan FLG menjadi sarana untuk menunjukan eksitensi kesultanan serta pelestarian budaya dan adat istiadat.
Masyarakat di Malut bisa mengenal dan menyaksikan kembali berbagai budaya dan adat istiadat warisan para leluhur setelah ditampilkan di FLG, sehingga secara tidak langsung menghidupkan kembali kecintaan mereka terhadap budaya dan adat istiadat setempat.
Salah satu ritual adat yang selalu ditampilkan dalam setiap penyelenggaraan FLG adalah kololi kie toma ngolo yakni ritual Sultan Ternate bersama para perangkat adat dan masyarakat mengelilingi Pulau Ternate melalui laut menggunakan perahu kora-kora atau perahu tradisional, untuk meminta perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa bagi daerah itu.
Mengingat sangat besarnya manfaat dari ajang FLG tersebut, maka Irfan Umasugi berharap Kementerian Pariwisata memasukan kembali FLG sebagai kegiatan pariwisata nasional pada tahun-tahun berikutnya, termasuk dukungan anggaran untuk penyelenggaraannya.
Pihak-pihak yang berselisih di Kesultanan Ternate juga harus memiliki komitmen dan kesadaran untuk kembali bersatu dengan semangat kearifan lokal "mari moi ngne futuru" atau bersatu kita kuat demi kemaslahatan dan kejayaan Kesultanan Ternate.
Kesultanan Ternate sejak abad ke 13 silam sudah memiliki nama besar di dalam dan luar negeri, baik sebagai pusat perdagangan rempah maupun penyebaran Islam, oleh karenanya nama besar itu jangan sampai redup karena adanya perselisihan di internal kesultanan.
Memasukkan kembali FLG sebagai kegiatan pariwisata nasional oleh La Ode Aminuddin
Senin, 19 Maret 2018 19:02 WIB