Ambon, 5/4 (Antaranews Maluku) - Simposium Ambon Humanitarian Surgery yang digelar oleh Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura (Unpatti), Rabu, mengangkat masalah inisiatif global untuk perawatan darurat dan bedah di Maluku.
Digelar di auditorium Fakultas Kedokteran, simposium tersebut menghadirkan sejumlah dokter dan pakar di bidang kesehatan sebagai pembicara, seperti Direktur Program Perawatan Bedah Darurat Terpadu, Geneva Foundation for Medical Education and Research (GFMER) dr. Meena Nathan Cherian, dan Prof. Aij Lie Kwan dari Kaohsiung Medical University Taiwan.
Kemudian ada spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, Prof. dr. Paul Tahalele yang juga pengajar di Universitas Airlangga, dr. Fransiscus Arifin dan dr. Pablo Roberto Elias Ruiz dari Incident Command System (ICS).
Dibagi dalam dua sesi diskusi, tiap-tiap pembicara mengangkat tema-tema beragam, tapi masih berhubungan dengan sistem perawatan darurat dan prosedur teknis bedah medis.
Dalam kesempatan itu, Meena Nathan Cherian yang merupakan mantan pimpinan program perawatan darurat dan bedah esensial, organisasi kesehatan dunia (World Health Organization - WHO), mengungkapkan persoalan medis yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama negara-negara berkembang.
Dikatakannya, setidaknya separuh dari penduduk dunia masih belum memiliki cakupan layanan kesehatan esensial secara penuh. Sekitar 100 juta orang masih dalam "kemiskinan ekstrim", mereka hidup dengan biaya sebesar USD 1,90 atau kurang per harinya karena harus membayar perawatan kesehatan.
Lebih dari 800 juta orang atau hampir 12 persen dari populasi dunia, menghabiskan setidaknya 10 persen anggaran rumah tangga mereka untuk membayar perawatan kesehatan.
Karena itu, WHO menghadirkan Program Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage - UHC) untuk daerah pedesaan. Melalui program tersebut, WHO ingin memastikan masyarakat dapat memperoleh layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa mengalami kesulitan keuangan.
"Semua negara-negara anggota PBB telah sepakat untuk mencoba mencapai UHC pada 2030," ucapnya.
Di negara-negara berkembang, kata Meena lagi, persfektif bedah medis dibedakan dalam dua hal, yakni wilayah publik atau komunitas dan untuk intervensi kesehatan masyarakat.
Untuk wilayah publik, seringkali kesehatan medis dipandang "misterius" atau prosedur dilakukan di balik pintu ruang operasi, lebih mahal jika dibandingkan dengan pengobatan tradisional, dan hasil perawatan juga tergantung dari biaya yang dibayarkan oleh pasien.
Sedangkan dari intervensi kesehatan masyarakat, pembedahan sering terkendala oleh terbatasnya peralatan medis, dan beban operasi acap kali ditangani melalui misi medis jangka pendek.
Selain itu, negara-negara berkembang juga terkendala mahalnya implementasi kesehatan, salah satunya adalah membangun rumah sakit baru dengan ruang-ruang operasi berteknologi tinggi dan petugas-petugas medis berketrampilan khusus.
"Program WHO untuk daerah pedesaan dengan layanan Perawatan Darurat dan Bedah Terpadu (Integrated Emergency and Surgical Care - IESC) di negara-negara berkembang mengubah persepsi tentang operasi dalam agenda kesehatan masyarakat," ujar Meena.
Simposium medis Unpatti angkat masalah perawatan darurat
Kamis, 5 April 2018 8:00 WIB