Ternate (ANTARA) - Para petani pala di Maluku Utara (Malut) menikmati harga tertinggi fuli pala dalam lima tahun terakhir yakni mencapai Rp210.000 per kilogram dari harga biasanya paling tinggi Rp170.000 per kg.
"Kami bersyukur harga fuli pala bisa mencapai setinggi itu tetapi sayangnya tidak pula diikuti untuk harga biji pala yang masih bertahan pada angka Rp60.000-Rp65.000 per kg," kata salah seorang petani pala, Yusuf di Ternate, Jumat.
Fuli pala adalah selaput tipis yang memisahkan antara biji pala dan daging pala, yang biasanya banyak dibutuhkan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik, bahkan kini mulai pula dilakukan penelitian untuk berbagai kebutuhan lainnya bagi manusia.
Ia berharap harga fuli pala seperti itu tetap bertahan hingga saat musim panen raya nanti dan diikuti pula dengan naiknya harga biji pala agar petani di daerah ini dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Pala adalah salah satu tanaman perkebunan andalan Malut sejak zaman dahulu selain cengkih dan kelapa yang setiap tahunnya mampu menghasilkan sedikitnya 10 ribu ton dan umumnya dipasarkan dalam bentuk gelondongan ke Pulau Jawa.
Salah seorang petani hasil bumi di Ternate, Johnni mengatakan tingginya harga fuli pala itu karena banyaknya permintaan, baik untuk kebutuhan industri dalam negeri maupun untuk diekspor, sementara stoknya terbatas karena belum memasuki panen raya.
Belum bisa dipastikan apakah harga fuli pala akan tetap bertahan seperti itu hingga penghujung 2019 ini, karena tergantung dari permintaan di pasaran dan stok yang tersedia, karena biasanya mengikuti hukum ekonomi yakni kalau stok sudah banyak harga akan turun, begitu pula sebaliknya, katanya.
Sementara itu harga komoditas perkebunan lainnya di Malut, khususnya di Ternate tetap normal, cengkih misalnya masih bertahan di angka Rp73.000 per kg, kopra Rp4.000 per kKg dan kakao Rp25.000 per kg.
Pemprov Malut kini tengah mengupayakan masuknya investor untuk membangun industri pengolahan perkebunan, terutama pala, cengkih dan kopra dengan menyediakan kawasan industri untuk mendorong naiknya harga komoditas itu di tingkat petani setempat.