Ambon (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Direktorat Penanganan Pengungsi bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku dan Maluku Tengah, menggelar sosialisasi mitigasi bencana serta penanganan dampak gempa kepada warga terdampak gempa 26 September 2019.
Sosialisasi yang juga menghadirkan peneliti dari Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) LIPI Ambon dilakukan kepada pengungsi korban gempa di Dusun Wainuru, Negeri Waai, kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Maluku Tengah.
Direktur Penanganan Pengungsi, Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Johny Sumbung, di Ambon Sabtu, menegaskan, sosialisasi secara terus menerus guna mengurangi dampak trauma yang dialami, mengingat hingga saat ini gempa masih terus dirasakan.
"Kendati intensitas gempa semakin menurun, namun guncangannya masih terus terjadi dan dirasakan warga. Karena itu perlu dilakukan sosialisasi dengan cara lebih efektif dan mendidik, sehingga warga tidak menjadi takut menghadapi bencana," katanya.
Selain sosialisasi, pihaknya juga melakukan pendampingan serta koordinasi dengan BPBD Provinsi Maluku maupun tiga daerah terdampak yakni Kota Ambon, Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat SBB) untuk mempercepat proses penyelesaian administrasi para pengungsi.
"Proses administrasinya harus lebih dipercepat agar program rehabilitasi rumah yang rusak berat, sedang maupun ringan dapat segera dilakukan," katanya.
Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Maluku, Farida Salampessy menyatakan, pihaknya tidak mendesak warga untuk segera kembali ke rumah masing-masing, karena menyadari warga masih merasa trauma dan takut," katanya.
Kendati gempa masih terus terjadi, namun intensitasnya semakin berkurang dan tidak dirasakan oleh warga, sehingga sudah selayaknya kembali ke rumah masing-masing agar bisa hidup lebih layak.
"Katong (kami) sadari basudara (saudara) masih takut dan trauma, tetapi hidup di rumah sendiri jauh lebih layak dan enak dibanding di lokasi pengungsian," tandasnya.
Dia juga mengingatkan pengungsi terutama masing-masing kepala keluarga menyiapkan administrasi yang dibutuhkan, terutama Kartu Keluarga (KK) serta Kartu Tanda Penduduk yang berisi Nomor Induk Kependudukan, sehingga lebih memudahkan percepatan penyelesaian administrasi mereka.
"Kami ingin rumah basudara yang rusak dapat segera diperbaiki, sehingga dapat segera kembali ke rumah masing-masing," ujarnya.
Farida juga menyosialisasikan pemberian Dana Tunggu Hunian (DTH) dan Cash For Work (CFW) atau anggaran untuk pembersihan rumah yang rusak akibat gempa, kepada masyarakat terdampak bencana agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Pendampingan melalui sosialisasi tersebut perlu dilakukan terutama terkait DTH dan CFW hingga menyentuh ke dasar sehingga tidak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat," tandasnya.
BNPB telah menyediakan anggaran Dana Siap Pakai (DSP) yang dapat digunakan untuk penanganan bencana alam. Pemerintah daerah terdampak gempa harus mengeluarkan SK yang dilampirkan dengan data-data valid sebagai syarat permohonan dana DSP tersebut.
Data-data tersebut nantinya akan digunakan untuk validasi agar semua bantuan dapat diberikan secara menyeluruh dan tepat sasaran.
DTH yang lebih spesifik diperuntukkan bagi korban bencana alam dengan kondisi bangunan rumah atau hunian dalam kondisi rusak ringan hingga berat sebesar Rp500 ribu per bulan, dan diberikan selama enam bulan dengan tujuan agar keluar dari tempat pengungsian, serta dapat mengontrak rumah untuk ditinggali sementara selagi rumah mereka direnovasi.
Sedangkan anggaran triwulan untuk renovasi rumah rusak berat sebesar Rp50 juta, rumah rusak Rp25 juta dan rumah rusak ringan senilai Rp10 juta.
Sedangkan dana CFW merupakan anggaran yang diberikan kepada masyarakat yang bekerja membantu membersihkan puing-puing pascagempa. Dana sebesar 50 ribu rupiah akan diberikan bagi mereka yang bekerja membantu membersihkan reruntuhan dan puing bangunan selama kurun waktu 5 hari.