Ambon (ANTARA) -
Rencana pemerintah memberikan ganti rugi kepada ribuan korban konflik kemanusiaan di Maluku, Maluku Utara, dan mereka yang mengungsi ke Sulawesi Tenggara (Sultra) pada 1999 sebagai wujud pelaksanaan keputusan Mahkamah Agung (MA) RI harus adil dan tidak menimbulkan kecemburuan.
"Kalau perintah MA RI untuk membayar ganti rugi buat korban konflik di Maluku, Malut, dan Sultra saja, saya agak khawatir karena pasti semua orang akan merasa menjadi korban, meski pun sudah pernah menerima ganti rugi buat rumah terbakar dan rumah ibadah," kata Wakil Ketua DPRD Maluku, Abdul Asis Sangkala di Ambon, Sabtu.
Menurut dia, perlu diketahui bahwa tidak semua warga mengungsi ke Sultra saat konflik sosial itu berkecamuk, tetapi juga ada yang pergi ke provinsi lain di Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, atau pun daerah lainnya di Indonesia.
Kemudian masih ada warga yang menjadi korban konflik 1999 di Maluku sendiri yang sampai saat ini belum pernah mendapatkan ganti rugi yang memadai.
"Jadi bila ada keputusan MA RI seperti itu, maka seharusnya menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memberikan rasa keadilan buat semua korban konflik Maluku dan Maluku Utara," ujar Asis.
Dia mengemukakan, DPRD juga akan berkoordinasi dengan Pemprov Maluku sebab Wagub Barnabas Orno turut mengikuti Rakornis dengan Menkopolhukam saat itu yang berlangsung secara virtual.
Kebijakan pemerintah membayar ganti rugi korban konflik kemanusiaan 1999 di Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Sultra berdasarkan direktori keputusan Mahkamah Agung RI Nomor : 318/PDT.G. CLASS ACTION/2011/PN.Jkt.Pst setelah permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan pemerintah ditolak Mahkamah Agung.
Sehingga Mendes PDT, Adul Halim Iskandar dalam Rakornis dipimpin Menkopolhukam Mahfud MD di Jakarta, pada Kamis (5/7) mengatakan akan melakukan pembayaran ganti rugi sebesar Rp3,9 triliun kepada ribuan korban konflik 1999 di Maluku, Malut, dan Sultra.
Kepastian itu diketahui setelah Lembaga Bantuan Hukum Kepton selaku kuasa hukum kelompok masyarakat eks pengungsi 1999 menerima salinan keputusan Mahkamah Agung RI pada tanggal 12 Februari 2020 yang menolak peninjauan kembali dari pemerintah.
Class action yang dilakukan para pengungsi korban konflik melalui LBH Kepton dengan direkturnya La Ode Zulfikar Nur ini sudah dimulai sejak 2011 di Pengadilan Negeri Jakarta pusat dan berlanjut ke Pengadilan Tinggi hingga MA.
Para pihak yang menjadi tergugat dalam class action ini adalah Presiden RI sebagai tergugat I, kemudian Menko Kesra, Menteri Sosial, Gubernur Maluku, dan Gubernur Maluku Utara sebagai tergugat II sampai V.
Sedangkan uang ganti rugi yang akan diberikan kepada para korban konflik ini nantinya terdiri dari BBR Rp15 juta, uang tunai Rp3,5 juta, dan jumlah pengungsinya 213.217 kepala keluarga.