Ambon (Antara Maluku) - Genap berusia satu tahun, anak-anak relokasi konflik horisontal 1999 di Maluku yang tergabung dalam kelompok belajar "Gunung Mimpi", akan merayakan Setahun Bermimpi, pada 20 April 2012.
Setahun Bermimpi merupakan pementasan drama yang merefleksikan setahun aktivitas 49 siswa SD hingga SMA yang tergabung dalam kelompok belajar Gunung Mimpi.
Tidak hanya kelompok belajar Gunung, sejumlah komunitas lokal, seperti Bengkel Seni Embun, Ambon Breakers, Molukka Hip-Hop Community (MHC), Ykanasar band, Maluku Photo Club (MPC), dan Pardidoe Fotografi juga akan tampil bersama.
"Ulang tahun mereka jatuh pada 3 Maret, tapi kemarin kami hanya berdoa bersama. Pada 22 April nanti genap satu tahun aktivitas anak-anak mengumpulkan sampah plastik setiap hari minggu," kata pembina Gunung Mimpi Wessly Johannes kepada ANTARA, di Ambon, Kamis.
Ia mengatakan, ide menggelar Setahun Bermimpi datang dari adanya drama yang telah dibuat oleh anak-anak "Gunung Mimpi", tapi tak sempat dipentaskan saat ibadah ulang tahun kelompok belajar tersebut.
"Kebetulan kami bertemu dengan teman-teman komunitas yang lain, ada yang juga baru terbentuk, jadi kami terpikirkan untuk tampil bersama-sama dalam perayaan ini," katanya.
Johannes menjelaskan, tidak hanya sekedar merayakan ulang tahun, perayaan tersebut dimaksudkan untuk menjalin persahabatan dengan komunitas lokal lainnya di Ambon.
"Targetnya kami bisa bergerak bersama-sama dengan komunitas lainnya," ucapnya.
Anak-anak kelompok belajar Gunung Mimpi merupakan warga Pulau Buru yang mengungsi ke Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, akibat konflik horisontal di Maluku pada 1999.
Selain belajar bersama, selama setahun terbentuk kelompok belajar Gunung Mimpi yang dibina oleh Weslly Johannes dan Matalsea Tamaela, juga aktif melakukan bersih-bersih lingkungan desa yang menjadi tempat tinggal mereka yang sekarang.
Menurut Johannes, selama setahun ini, perkembangan psikis dan rasa percaya diri anak-anak "Gunung Mimpi" dan Matalsea Tamaela sudah jauh lebih baik, ketimbang sebelumnya yang sering minder karena status mereka sebagai pengungsi dari daerah lain.
Anak-anak pengungsi ini seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat asli, dianggap tidak memiliki apa-apa, sehingga menurunkan rasa percaya diri mereka.
"Ini hanya persoalan identitas dan pandangan masyarakat sekitar yang tidak mendukung perkembangan mereka. Untuk satu tahun ini perkembangan mereka sangat luar biasa. Meski dengan fasilitas terbatas mereka telah belajar mencintai diri sendiri dengan apa yang dimiliki," ucapnya.
Johannes menambahkan, setahun yang lalu, ia dan Matalsea Tamaela memutuskan untuk membentuk kelompok belajar bagi anak-anak pengungsi tersebut, dikarenakan untuk memprotes ketidakpedulian masyarakat sekitar tempat tinggal mereka terhadap perkembangan anak-anak relokasi itu.
"Masyarakat seperti tidak lagi saling peduli satu dengan yang lainnya, ini untuk membuka mata mereka bahwa ada orang yang masih membutuhkan pertolongan," ujarnya.