Ambon (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyanggupi untuk membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak korban konflik asal Negeri Kariuw kabupaten setempat.
"Semua biaya pendidikan anak-anak korban konflik asal Negeri Kariuw, Kecamatan Pulau Harukumenjadi tanggung jawab pemkab," kata Penjabat Bupati Maluku Tengah Muhammat Marasabessy yang dikonfirmasi dari Ambon, Senin.
Pemkab Maluku Tengah, katanya, menjamin seluruh biaya pendidikan anak korban konflik, mulai dari tingkat sekolah dasar, SMP, SMA maupun yang menempuh pendidikan lanjutan di perguruan tinggi.
Baca juga: Kapolresta Ambon salurkan bansos Kemensos di Kecamatan Pulau Haruku, begini penjelasannya
Marasabessy mengaku mendapat laporan dari Penjabat Raja Kariuw Semuel Jori Radjawane bahwa warganya, terutama anak-anak tidak bisa bersekolah dengan baik karena tidak memiliki biaya setelah konflik, orang tua mereka hanya bekerja serabutan saja.
Selain tidak memiliki biaya pendidikan, anak-anak Kariuw harus berjalan kaki lebih dari delapan kilometer untuk mencapai sekolah di Negeri Aboru.
"Jadi, setelah mendengar laporan Penjabat Raja, saya langsung berkoordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan, dan memerintahkan agar seluruh biaya pendidikan anak-anak Kariuw yang menjadi korban konflik pada September 2021 segera ditangani," katanya.
Seluruh biaya pendidikan siswa SD hingga perguruan tinggi asal Negeri Kariuw ditanggung Pemkab Maluku Tengah.
Prinsipnya, menurut Marasabessy, anak-anak korban konflik harus mendapatkan pendidikan yang memadai sama seperti warga negara lainnya.
"Tidak ada diskriminasi bagi warga Kariuw. Semua anak harus memperoleh pendidikan yang layak dan pemkab siap menanggung biaya pendidikan mereka," katanya.
Baca juga: Tim Kemensos RI salurkan bansos untuk pengungsi Haruku, begini penjelasannya
Penjabat Negeri Kariuw Jori Radjawane membenarkan anak-anak korban konflik asal daerah itu harus berjalan kaki sekitar delapan kilometer untuk tiba di sekolah. "Anak-anak terutama yang bersekolah di SMP dan SMA harus berjalan kaki untuk sampai di sekolah. Mereka tidak memiliki uang untuk naik mobil atau ojek. Saat tes mereka sering terlambat, karena harus berjalan kaki," ujarnya.
Sedangkan siswaSD proses belajar mengajar mereka dilakukan di lokasi penampungan sementara di Negeri Aboru.
Jori mengakui masalah pendidikan anak-anak negeri Kariuw ini sudah lama disampaikan kepada pemerintah, mengingat sebagian besar warga negeri itu tidak memiliki penghasilan tetap, karena sejak mengungsi di Negeri Aboru mereka tidak bisa mengolah kebunnya lagi, sehingga lebih banyak bekerja serabutan.
Baca juga: KSP: Masih dikaji proses pemulangan pengungsi Pulau Haruku, butuh keseriusan semua pihak