Jakarta (ANTARA) -
Menurut Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kemendes PDTT Rafdinal pendekatan tersebut dikaji agar desain transformasi daerah berkesesuaian dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat serta kondisi lokal.
Hal itu dikarenakan banyak ibu yang melakukan persalinan di bawah pohon dengan peralatan seadanya ketika dalam proses nomaden.
"Karena kondisi Suku Asmat seperti itu, penyuluhan saja jelas menjadi kurang efektif sehingga kami usulkan pembangunan infrastruktur dasar di jalur nomaden," ujarnya.
Baca juga: Sekjen Kemendes PDT harapkan Kades di Malut kelola keuangan secara transparan
Lalu mengaitkan dengan kegiatan perekonomian, sambung Rafdinal, pertanian subsisten masih terhitung bernilai tambah rendah bagi perekonomian Suku Asmat.
Namun di sisi lain, masyarakat tersebut mampu menciptakan patung dari komoditas kayu merbau maupun matoa yang tumbuh di pedalaman hutan Papua.
Adapun produk patung tersebut bernilai jual tinggi, bahkan dilirik hingga mancanegara karena kualitas kayu yang digunakan.
Dengan kondisi yang demikian, ia mengatakan lebih tepat sasaran bila mengembangkan sektor ekonomi kreatif daripada memaksakan menjadi petani untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Suku Asmat
"Tanpa kajian dengan pendekatan antropologis maupun sosiologis, kami tidak akan memiliki kepekaan terhadap aspek lokalitas yang ternyata dapat diberdayakan untuk peningkatan kualitas hidup daerah tertinggal," jelas Rafdinal.
Jumlah desa sangat tertinggal saat ini telah berkurang sebanyak 8.603 desa sejak tahun 2015, dari yang awalnya berjumlah 13.453 menjadi 4.850 desa di tahun 2023.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemendes PDTT kaji pendekatan antropologis dalam transformasi daerah