Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan perlu ada gerak bersama, untuk mencegah penyakit menular seksual, yang berbasis semangat peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) nasional supaya melahirkan generasi penerus berdaya saing.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, menilai penyakit menular seksual menjadi salah satu penyakit yang memberikan dampak terhadap pertumbuhan kualitas SDM.
"Di Indonesia, salah satu penyakit yang berdampak pada kualitas SDM adalah penyakit menular seksual. Pengetahuan dan perhatian masyarakat yang masih rendah terkait isu tersebut harus disikapi dengan konsisten dalam upaya menekan peningkatan jumlah kasus penyakit menular seksual," kata Lestari dalam diskusi daring bertema "Perlindungan Ibu Hamil dari HIV, Sifilis, dan AIDS" yang digelar Forum Diskusi Denpasar, Rabu (13/12).
Lestari mengungkapkan berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV (human immunodeficiency virus) yang merupakan salah satu penyakit menular seksual diperkirakan mencapai 515.455 kasus selama periode Januari-September 2023.
Dari jumlah kasus tersebut, 454.723 kasus atau 88 persen di antaranya sudah terkonfirmasi orang dengan HIV (ODHIV). Berdasarkan kategori usia, pengidap HIV di Indonesia mayoritas berasal dari kelompok usia 25-49 tahun atau sebanyak 69,9 persen dari total kasus.
Pada bulan Mei 2023, Lestari menambahkan Kemenkes juga mencatat bahwa kasus HIV dan sifilis meningkat, dengan angka ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35 persen atau lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya.
Berdasarkan catatan tersebut, lanjutnya, perlu ada upaya bersama untuk mengangkat isu penyakit menular seksual, seperti HIV dan sifilis, agar masyarakat peduli terhadap upaya pencegahan dan mengatasi sejumlah penyakit tersebut.
Menurut Lestari, konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945 telah mengatur dan mengamanatkan perlindungan negara terhadap warganya.
"Konstitusi sebagai dasar perlindungan mesti diterjemahkan pada seluruh bidang kehidupan agar ragam masalah dapat ditelisik secara mendalam dan menyeluruh," jelasnya.
Langkah itu harus diikuti dengan kerja kolektif untuk memutus masalah dengan solusi komprehensif, termasuk memberikan perlindungan kesehatan kepada para ibu yang akan melahirkan generasi penerus dari tertular penyakit menular seksual.
Ketua Tim Kerja HIV/AIDS Kemenkes Endang Lukitosari berpendapat bila diskusi soal isu peningkatan penyakit menular seksual, seperti HIV, sifilis, dan hepatitis, dilakukan setiap pekan akan membantu meningkatkan kepedulian masyarakat.
Menurut Endang, meski Kemenkes berupaya melakukan skrining masif dan mempermudah akses pengobatan, masih adanya stigma terhadap penderita penyakit menular seksual menyebabkan proses pengobatan bagi para ODHIV dan penderita sifilis menjadi terhambat.
Kondisi tersebut menjadi kendala dalam pencapaian target zero HIV. Belum lagi, tambah Endang, banyak terjadi proses pengobatan tidak berlanjut karena ODHIV merasa tidak bergejala dan sehat.
Padahal, ujar Endang, apabila ODHIV mengonsumsi Anti Retro Viral (ARV) secara teratur dalam jangka waktu tiga bulan, maka berpotensi virusnya lebih terkendali dan tidak menular.
Sementara itu, Ketua Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Saadah Andriani mengatakan jumlah penderita HIV dan sifilis sesungguhnya lebih banyak daripada yang tercatat saat ini.
Kelompok yang rentan terkena HIV, menurut Nurul, antara lain adalah perempuan, ibu hamil, dan korban kekerasan seksual yang biasanya tidak terbuka karena takut terkena stigma bila terkait penyakit menular seksual.
"Hambatan lain dalam pengobatan HIV adalah keterbatasan informasi terkait kemudahan akses pengobatan dari sisi pembiayaan maupun ketersediaan fasilitas kesehatan," ujar Nurul.
Menurut Nurul, kondisi tersebut harus menjadi perhatian serius bagi para pemangku kepentingan agar hambatan yang dialami kelompok rentan tersebut bisa segera diatasi.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, menilai penyakit menular seksual menjadi salah satu penyakit yang memberikan dampak terhadap pertumbuhan kualitas SDM.
"Di Indonesia, salah satu penyakit yang berdampak pada kualitas SDM adalah penyakit menular seksual. Pengetahuan dan perhatian masyarakat yang masih rendah terkait isu tersebut harus disikapi dengan konsisten dalam upaya menekan peningkatan jumlah kasus penyakit menular seksual," kata Lestari dalam diskusi daring bertema "Perlindungan Ibu Hamil dari HIV, Sifilis, dan AIDS" yang digelar Forum Diskusi Denpasar, Rabu (13/12).
Lestari mengungkapkan berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV (human immunodeficiency virus) yang merupakan salah satu penyakit menular seksual diperkirakan mencapai 515.455 kasus selama periode Januari-September 2023.
Dari jumlah kasus tersebut, 454.723 kasus atau 88 persen di antaranya sudah terkonfirmasi orang dengan HIV (ODHIV). Berdasarkan kategori usia, pengidap HIV di Indonesia mayoritas berasal dari kelompok usia 25-49 tahun atau sebanyak 69,9 persen dari total kasus.
Pada bulan Mei 2023, Lestari menambahkan Kemenkes juga mencatat bahwa kasus HIV dan sifilis meningkat, dengan angka ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35 persen atau lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya.
Berdasarkan catatan tersebut, lanjutnya, perlu ada upaya bersama untuk mengangkat isu penyakit menular seksual, seperti HIV dan sifilis, agar masyarakat peduli terhadap upaya pencegahan dan mengatasi sejumlah penyakit tersebut.
Menurut Lestari, konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945 telah mengatur dan mengamanatkan perlindungan negara terhadap warganya.
"Konstitusi sebagai dasar perlindungan mesti diterjemahkan pada seluruh bidang kehidupan agar ragam masalah dapat ditelisik secara mendalam dan menyeluruh," jelasnya.
Langkah itu harus diikuti dengan kerja kolektif untuk memutus masalah dengan solusi komprehensif, termasuk memberikan perlindungan kesehatan kepada para ibu yang akan melahirkan generasi penerus dari tertular penyakit menular seksual.
Ketua Tim Kerja HIV/AIDS Kemenkes Endang Lukitosari berpendapat bila diskusi soal isu peningkatan penyakit menular seksual, seperti HIV, sifilis, dan hepatitis, dilakukan setiap pekan akan membantu meningkatkan kepedulian masyarakat.
Menurut Endang, meski Kemenkes berupaya melakukan skrining masif dan mempermudah akses pengobatan, masih adanya stigma terhadap penderita penyakit menular seksual menyebabkan proses pengobatan bagi para ODHIV dan penderita sifilis menjadi terhambat.
Kondisi tersebut menjadi kendala dalam pencapaian target zero HIV. Belum lagi, tambah Endang, banyak terjadi proses pengobatan tidak berlanjut karena ODHIV merasa tidak bergejala dan sehat.
Padahal, ujar Endang, apabila ODHIV mengonsumsi Anti Retro Viral (ARV) secara teratur dalam jangka waktu tiga bulan, maka berpotensi virusnya lebih terkendali dan tidak menular.
Sementara itu, Ketua Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Saadah Andriani mengatakan jumlah penderita HIV dan sifilis sesungguhnya lebih banyak daripada yang tercatat saat ini.
Kelompok yang rentan terkena HIV, menurut Nurul, antara lain adalah perempuan, ibu hamil, dan korban kekerasan seksual yang biasanya tidak terbuka karena takut terkena stigma bila terkait penyakit menular seksual.
"Hambatan lain dalam pengobatan HIV adalah keterbatasan informasi terkait kemudahan akses pengobatan dari sisi pembiayaan maupun ketersediaan fasilitas kesehatan," ujar Nurul.
Menurut Nurul, kondisi tersebut harus menjadi perhatian serius bagi para pemangku kepentingan agar hambatan yang dialami kelompok rentan tersebut bisa segera diatasi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Lestari sebut perlu gerak bersama cegah penyakit menular seksual